Wednesday, March 9, 2011

Mendengar vs MendengarKAN

Saat ini kita lazim menjumpai orang dengan ‘khusyuknya’ menggunakan headset. Entah mendengarkan radio atau sekadar mendengarkan lagu dari ponselnya atau dari mp3 player miliknya sambil berjalan atau mengendarai kendaraan. Jadi, sebenarnya secara lahiriah kita ini mendengar banyak hal. Secara sepintas ini sesuai dengan hikmah bahwa manusia mempunyai dua telinga dan satu mulut. Maksudnya, perbanyaklah mendengar daripada bicara.

Namun fakta yang terjadi hampir sebaliknya. Secara lahir memang kita makin banyak mendengar. Kita banyak mendengar kabar dari beragam model media massa, mendengar lantunan, atau mendengar perkataan orang via internet apakah itu chatting, blog, atau situs jejaring sosial (facebook, twitter, dll.).

Namun agaknya kita baru sekadar MENDENGAR bukan MENDENGARKAN. Banyak mendengar tapi sedikit sekali mendengarkan alias menyimak dengan seksama. Akhiran kan pada kata mendengar merupakan adanya proses mendengar disertai konsentrasi penuh perihal sesuatu yang didengar itu.

Jadi apakah kita sudah cukup mendengarkan himbauan di banyak papan reklame untuk menjaga kebersihan, kebersihan itu sebagian dari iman, membuang sampah pada tempatnya? Ataukah kita dengan santainya membuang tisu di jalan dari atas kendaraan kita, membuang bangkai tikus di jalan, menimbun sampah di selokan?
Apakah kita mendengarkan peringatan di pintu lintasan kereta api dan berhenti ketika punutup jalan telah diturunkan? Ataukah kita mencoba nyelonong dengan alasan kereta masih jauh sambil mempertaruhkan nyawa kita dan orang lain?

Apakah juga kita mendengarkan khatib Jumat yang selalu berpesan untuk melaksanakan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya dimana pun kita berada? Ataukah kita masih tak mau mengkaji & mengaji apa saja yang diperintah dan dilarang Allah swt. sehingga kita tabrak rambu-rambu dari Allah dan rasul-Nya?

Apakah kita mendengarkan kritik dan protes masyarakat luas saat hendak berangkat studi banding dalam kapasitas kita sebagai pejabat publik? Ataukah kita tetap berangkat plesir berkedok studi banding ke suatu tempat yang sepertinya tidak ada relevansinya bagi rakyat?

Apakah kita mendengarkan jerit tangis para korban bencana dan rintihan fakir miskin di sebelah rumah kita atau bahkan kerabat kita yang tak mampu sehingga menggerakkan tangan kita untuk mengulurkan santunan? Ataukah jari kita masih sibuk memilih beragam ponsel terbaru dengan fitur canggih yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan fitur-fitur itu?

Apakah kita mendengarkan saran dan gagasan karyawan, anggota organisasi atau anggota keluarga sehingga kita bisa mengambil keputusan/kebijakan yang bisa mengayomi mereka? Ataukah kita tetap keras kepala memaksakan pendapat kita sendiri tanpa banyak mempertimbangkan saran pihak lain?

Apakah kita masih mau mendengarkan suara paling dekat dan paling jujur dengan kita yaitu suara nurani, sehingga kita bisa memilih sikap yang menenteramkan hati? Ataukah kita telah membungkam suara nurani kita sendiri hingga berbuat sekehendak hawa nafsu tanpa pedulikan rasa malu?

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam banyak dari golongan jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al A’raf 179).

Kita memohon perlindungan kepada Allah swt. dari sikap yang demikian. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti” (QS. Ali Imran 193). Amin ya rabbal ‘alamin.{}

Apapun Formatnya, Ini Bekalnya (tadabbur surat Quraisy)


-->
Diskusi mengenai perjuangan mewujudkan masyarakat berdasar Al Quran & Sunnah Nabi saw. sebenarnya bisa kita ambil inspirasi dari surat Qurasiy.
Surat nomor 106 itu memberi panduan bagi aktivis dakwah untuk memperjuangkan sendi-sendi masyarakat Islami.
Setiap perjuangan pasti punya landasan filosofis atau akar ideologis. Bagi pejuang dakwah Islam, landasan ideologisnya harus mengacu pengabdian kepada Allah swt. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).” Ayat ke-3 surat Quraisy ini harus bisa membuat para pejuang dakwah mencanangkan cita-cita perjuangannya, yaitu tiada yang patut diibadahi dan ditaati kecuali Allah Rabbul alamin.
Maka apapun cara dan teknis perjuangan tetap harus mengacu pada keikhlasan kepada Allah semata. Kekuasaan hanya perantara demi menjalankan amanah sebagai pemakmur bumi, kekuasan itu bukan tujuan itu sendiri. “…Shaleh berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (QS. Huud 61). Ada contoh yang diberikan Al Quran: Daud as, Sulaiman as, & Yusuf as.
Penyalahgunaan kekuasaan (demi memperkaya diri, penindasaan, pembantaian, dll.) merupakan kezaliman dan perbuatan merusak (fasik) yang menodai keikhlasan perjuangan di hadapan Allah swt. Penyalahgunaan kekuasaan ini diwakili ikonnya oleh Firaun. Selebihnya antum semua bisa cari contoh sendiri.
Penindasan dan kefasikan bisa terjadi dalam format apapun, baik khilafah, monarki, maupun demokrasi. Silakan cari sendiri contohnya. Akh Sigit Kamseno punya banyak contoh :)
Setelah jelas ideologi perjuangan, Al Quran memberi panduan agar pejuang dakwah setelah bekerja ikhlas, maka kita harus bekerja keras dan kerja cerdas. Langkah stategis yang harus dijebarkan para pejuang dakwah mengacu pada ayat ke-4 surat Qurasiy:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” Untuk para pejuang dakwah harus bisa mewujudkan kondisi ekonomi yang menjanjikan dan jaminan keamanan bagi semua orang, baik muslim maupun kaum dzimni.
Ketercukupan pangan dan kehidupan ekonomi yang menjanjikan diwakili potongan ayat memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar. Sedangkan aspek keamanan diwakili kalimat mengamankan mereka dari ketakutan.
Maka para pejuang dakwah harus mampu menyiapkan sekaligus mengaplikasikan konsep keuangan dan ekonomi (makro & mikro) yang bernafaskan kaidah syariah. Bagaimana bisa menegakkan khilafah jika konsep, infrastruktur, dan SDM ekonomi syariah tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Jangankan menandingi ekonom sekuler-liberal, orangnya saja belum ada. Saya pernah mendengar pengakuan dari seorang dosen juruasan ekonomi syariah Universitas Airlangga sekarang ini masih sulit mencetak SDM pebankan syariah yang andal. Padahal kebutuhan SDM perbankan syariah saat ini sangat tinggi. Kata dia, mahasiswanya yang lulusan pesanten umumnya lemah di sisi analitis-matematis. Sedang yang lulusan SMA, lemah penguasaan bahasa Arab sehingga sulit menelaah kitab fiqih.Jadi, apakah harakah dakwah sudah punya lembaga kajian ekonomi Islam? Kalau belum, jangan mimpi dirikan khilafah. Ini baru dari sisi perbankan, belum fiskal, eskpor impor, invetasi, saham, dll. jadi, jangan hanya menggerutu jika masih dikepung sistem ekonomi kapitalis yang ribawi.
Aspek Hankam
Saudara kembar dari aspek ekonomi & keuangan adalah pertahanan dan keamanan. Bagaimana bisa berbisnis dan bekerja kalau kondisinya tidak aman? Bagaimana jika banyak kriminal? Belum lagi menjaga asset-aset Indonesia yang total luasnya hampir sama dengan benua Eropa. Apakah kita sudah menyiapkan konsep kemiliteran yang tangguh di tengah persenjataan yang minim dana dan teknologinya?
Apakah kita menyiapkan konsep karir militer & polisi yang profesional di tengah carut marut TNI/polisi yang jenjang karirnya ala ‘arisan’ berdasar posisi ‘basah’? Bagaimana membuat konsep wajib militer yang adil dan egaliter sebagai solusi minimnya anggaran hankam? Belum lagi pembinaan mental tentara/Polisi yang memang penuh problem.
Apakah juga kita sudah menyiapkan psikolog yang ustadz/ah atau ustadz/ah yang psikolog untuk membina militer agar tidak mudah menembak istri atau pacar sendiri sat cekcok? Atau siapkah membina spiritual anggota militer agar tidak mudah emosional saat adu mulut dengan kesatuan lain di jalanan. Belum lagi praktik beking, jual beli kasus, hingga suap seperti Gayus begitu gampangnya melancong saat ditahan. Bagaimana pula merehabilitasi napi agar tidak kambuh atau terpaksa kambuh karena kadang di penjara mereka tambah ‘pintar’ (karena bergaul dg yang senior)
Tidak mudah membina di kalangan militer atau birokrasi. Kebetulan saya kenal dengan seorang ustadz dan ustadzah yang membina di rumah tahanan dan kantor polda. Mereka bagaikan oase di tengah gurun. Kering sekali spiritual di LP. Rata-rata napi butuh tempat curhat masalah mereka. Kadang mereka takut tidak diterima lagi di keluarga dan masyarakat. Atau para petugas keamanan yang harus patroli dengan bensin uang sendiri. Belum lagi polusi udara yang mengancam mereka. Itulah sebabnya iman mereka mudah goyah dengan berbekal surat tilang atau main-main dengan pasal pidana.
Masih banyak aspek lain yang melingkupi aspek ekonomi-keuangan & hankam. Karena memang setiap negara/pemerintahan bekerja keras untuk mengatasi dua aspek dasar ini. Adakah dari harakah dakwah mempersiapkan konsep Islamnya plus SDM nya yang andal dan dalam jumlah yang memadai? Pertanyaan yang harus kita jawab bersama.
Ibarat slogan iklan teh, APAPUN ‘MAKANANNYA’ (apakah khilafah, monarki, demokrasi), MINUMNYA (bekal) INI (surat Quraisy).
Wallahu a’lam.