Monday, December 30, 2013

Karya Tulis Efektif Mengubah Dunia oleh M. Anwar Djaelani*

Mana karya tulis ulama Indonesia yang berkelas dunia? Demikian gugat Abdul Kadir Baraja lewat tulisannya di Majalah Al-Falah edisi April 2013. Lebih jauh, Ketua Pengurus YDSF itu berseru: “Mari berkarya, mari mendunia” (klik sini untuk artikelnya). Sungguh, seruan ini tak boleh kita abaikan. Mengapa?

Agen Penting
Sejarah mengabarkan bahwa banyak perubahan besar di dunia ini yang dipengaruhi oleh sebuah karya tulis. Terkait ini, ada contoh, sebuah bangsa yang berkondisi buruk berubah menjadi bangsa yang berperadaban. Ada pula sebuah kaum yang sebelumnya berstatus sebagai pihak ‘yang kalah’ berubah menjadi ‘sang pemenang’.

Lihatlah Palestina! Pada 1095 terjadilah Perang Salib. Empat tahun kemudian, Pasukan Salib menang dan menguasai Jerusalem. Hal itu menunjukkan keterpurukan umat Islam. Kondisi itu tak sebentar, sebab berlangsung sampai sekitar 90 tahun.

Imam Al-Ghazali yang hidup di masa itu sampai kepada kesimpulan bahwa itu terjadi karena umat Islam memiliki masalah mendasar yaitu terjadinya kerusakan pemikiran dan diri umat Islam. Aqidah dan kemasyarakatan mereka rusak.

Al-Ghazali berpendapat bahwa yang kali pertama harus dibenahi adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Maka, dia-pun menulis kitab Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu Agama). Buku yang ditulis di masa perang itu dibuka Al-Ghazali dengan bab Kitabul Ilmi. Lewat bab ini Al-Ghazali menunjukkan urgensi dan posisi ilmu yang benar.

Singkat kata, buku Al-Ghazali –terutama lewat bab pertamanya- secara cepat mampu mengubah masyarakat menjadi ”beriman, berilmu, dan beramal”. Iman mereka bebas dari berbagai ’penyakit’ karena didasarkan kepada (konsep) ilmu yang benar. Lalu, dengan dasar iman dan ilmu itu lahirlah berbagai amal atau karya-karya terbaik termasuk meningkatnya spirit jihad sebagai bagian dari amar makruf nahi munkar. Maka, kemenangan-pun didapat umat Islam di Perang Salib.

Di dunia Islam, tokoh yang memiliki karya tulis berkategori ’bisa menggerakkan’ tak hanya Al-Ghazali. Tapi, –sekadar menyebut contoh- karya-karya tulis Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Muhammad Iqbal bisa pula dicatat sebagai penggerak perubahan ke arah positif.

Kita tahu bahwa jika sebuah karya tulis berhasil menggerakkan dunia untuk berubah, maka pastilah itu terjadi karena sebelumnya telah berhasil pula mempengaruhi pribadi-pribadi dari semua pembacanya. Maka, ada baiknya jika juga disebut contoh karya tulis yang berpengaruh secara khusus di level pribadi-pribadi. Berikut ini contoh kontemporer.

Seorang remaja di sebuah kota besar memutuskan untuk bunuh diri. Dia ngebut naik motor untuk menjemput maut. Setelah sekian lama ngebut, kecelakaan yang diharapkannya tak terjadi. Dia hentikan motornya dan masuk ke toko buku di sebuah mall. Tanpa sengaja dia membaca buku Catatan Hati di Setiap Sujudku karya Asma Nadia. Dia sangat terkesan dengan isi buku itu dan spontan mengurungkankan niatnya untuk bunuh diri. Sebab, “Semangat hidup saya bangkit kembali," kata si remaja.

Seorang remaja lainnya juga sama, nyaris bunuh diri. Dia sudah sempat meneguk cairan pembasmi serangga akibat putus cinta. Tetapi buku Asma Nadia yang berjudul La Tahzan for Jomblo telah “Menyelamatkan saya," tutur remaja itu.

Paparan di atas menunjukkan bahwa karya tulis adalah salah satu faktor terpenting pemicu terjadinya berbagai perubahan di banyak kawasan. Karya tulis kerap menjadi pemicu suatu gerakan pemikiran, keyakinan, dan cita-cita. Penulis mencetuskan ide, lalu menjadi bahan pemikiran banyak orang dan bahkan bisa menjadi pedoman perjuangan bersama.

Ambil Peran
Pertarungan antara yang haq dengan yang bathil akan berlangsung abadi. Untuk itu kaum beriman harus aktif ber-amar makruf nahi munkar, yang salah satu media terbaiknya adalah lewat karya tulis.

Kita harus selalu memperbanyak karya tulis sedemikian rupa karya-karya itu terus bisa mewarnai dunia. Jangan sampai kalah dengan ‘pihak lawan’ yang lewat karya tulis juga terus menjajakan ‘jualan’-nya. Misal, mereka bikin buku-buku soal sekularisme, pluralisme, dan lain-lainnya yang serupa dengan itu. Lewat karya tulis itu, ‘pihak lawan’ berusaha meruntuhkan aqidah umat Islam.  

Alhasil, seorang Muslim yang baik akan selalu merindukan lahirnya karya-karya tulis yang berkategori bisa menggerakkan pembacanya ke arah kebaikan. Maka, di titik ini, ada tantangan: Bisakah kita –Anda dan saya- menjadi penulis dari karya tulis yang dimaksud?

Semoga, seruan Abdul Kadir Baraja yaitu “Mari berkarya, mari mendunia” dapat kita respon secara positif. Caranya, buatlah karya tulis yang berkualitas sehingga bisa menginspirasi banyak orang untuk bergerak dalam bingkai kebaikan. Karya tulis itu akan jauh lebih bernilai jika tak hanya dinikmati masyarakat Indonesia, tapi juga masyarakat dunia. Maukah kita? Bismillah! []

*M. Anwar Djaelani,
penulis buku Warnai Dunia dengan Menulis


Tulisan ini dimuat di majalah Al Falah YDSF edisi Oktober 2013

Sunday, December 29, 2013

Kemana Karya Ulama Kita? oleh Abdul Kadir Baraja*

Sudah berapa lama Islam masuk Indonesia? Berapa banyak kerajaan Islam yang telah berdiri? Ada berapa organisasi Islam di negeri ini? Dan berapa jumlah pemuda kita yang sudah mendalami ilmu Islam di luar negeri? Tapi, mana karya ilmiah mereka yang berkelas dunia?


Berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo, ia pernah singgah di Perlak, Sumatera Utara pada tahun 1292. Di sana ia berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut Islam. Tidak ada catatan pasti tentang kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu pulau membuatnya sulit diidentifikasi. Yang jelas, dari berbagai sumber, kerajaan Islam pertama yang berdiri di Indonesia adalah Kerajaan Perlak pada 840 masehi.

Jika melakukan hitung-hitungan sederhana, berpedoman pada waktu awal berdirinya Kerajaan Perlak, berarti setidaknya sudah 1173 tahun atau 12 abad Islam berada di tanah air. Dari kurun waktu itu setidaknya sudah lebih dari 10 kerajaan Islam berdiri dari Sabang sampai Merauke. Dari Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Panjang, Mataram, Banten, Cirebon, Gowa Tallo, Ternate sampai Tidore.

Kerajaan-kerajaan itu tentu telah mewariskan culture dan people yang berlandaskan Islam. Dua poin tersebut adalah pemicu terbentuknya komunitas-komunitas masyarakat, yang lebih lanjut dimungkinkan bermetamorfosa menjadi organisasi Islam. Dari masa ke masa, telah berdiri ratusan organisasi Islam yang diisi deretan ulama. Saat ini saja tercatat ada 38 organisasi Islam besar di Nusantara. Dari sana sering lahir pemikiran dan tuntunan praktis yang dijalani pengikutnya.

Dari sana pula lahir ratusan ribu pondok pesantren dan sekolah Islam yang secara khusus mendalami ajaran Allah SWT. Islam memang selalu menarik. Islam selalu mengundang beribu tanya tentang keindahannya. Sehingga menarik jutaan pemuda Indonesia untuk mendalaminya di berbagai perguruan tinggi di pusatnya, Timur Tengah.

Sebagian dari mereka sudah ‘pulang kampung’ dengan membawa segudang ilmu. Tapi, apakah dari mereka sudah menelurkan karya-karya ilmiah berkelas dunia? Ukuran berkelas dunia yang dimaksud adalah karya-karya yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di penjuru dunia, karya keislaman yang mampu diterima dan dipakai bahan rujukan keilmuan di berbagai negara.

Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan untuk mereka yang pernah mendalami pendidikan di Timur Tengah, tapi juga untuk para ulama yang sudah malang melintang mengkaji hukum Islam. Urgensi lahirnya pertanyaan ini pun rasanya bukanlah hal yang terlalu dipaksakan. Sebab, jika menelisik historis keberadaan umat Islam di Nusantara yang telah dipaparkan di atas, rasanya sudah saatnya kita mempunyai karya ilmiah internasional.

Apalagi jika melihat populasi umat Islam Indonesia yang notabene terbesar di dunia atau sekitar 85 persen dari jumlah penduduk Indonesia sendiri. Ada harapan, tak hanya menjadi negara muslim terbesar, namun juga pusat peradaban dan ilmu Islam.

Sampai saat ini kita masih impor buku, impor karya. Artinya kita juga impor pemikiran dari ulama-ulama Timur Tengah. Ulama-ulama tersebut antara lain Imam Ghazali, Imam Bukhari, Yusuf Qardawi, Ibnu Hajar Al Asqalani dan masih banyak yang lain. Karya-karya mereka laku keras hingga diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.

Bukan bermaksud menghiraukan karya ulama kita. Tidak menutup mata, saat ini memang sudah banyak ulama, pengamat hukum Islam, kyai dan para penyandang guru besar Islam di Indonesia yang rajin menerbitkan buku dan karya ilmiah. Namun karya mereka hanya dinikmati masyarakat Indonesia (baca: lokal). Karya mereka hanya laku di kandang sendiri, tidak di pasar internasional.

Jika ingin mencermati apa penyebab nihilnya karya tersebut, sebenarnya bukan karena kondisi geografis Indonesia yang jauh dari negara-negara Timur Tengah. Kita juga tidak bisa beralasan jika latar belakang politik tidak mendukung dalam terciptanya karya ilmiah yang unggul. Buktinya, muslim di beberapa Negara pecahan Uni Soviet (Eropa Timur), yang kondisi politiknya belum stabil, ternyata sudah ada yang mampu membuat Syarah Bulughul Maram.

Dan yang terakhir, ada pula karya seorang ulama India dan Pakistan yang terkenal. Keduanya masih hidup. Ulama India tersebut membuat sirah terbaik di dunia. Sebetulnya kondisi negara mereka pun tidak lebih baik dari kita.

Saya rasa, kita mempunyai potensi dan peluang yang besar untuk menciptakan karya serupa. Tinggal bagaimana kita menanamkan keinginnan untuk membuat karya. Selain itu perlu diperhatikan pula bagaimana cara menggaet penerbit luar negeri agar mau mencetak karya kita. Sebab dalam dunia bisnis, penerbit tidak memandang dari mana ulama tersebut berasal. Asal karyanya dapat diterima pembaca, karya tersebut akan diperbanyak dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Negara yang bersangkutan.
Jadi, mari berkarya, mari mendunia.

*Abdul Kadir Baraja, Ketua Dewan Pengurus YDSF
(dimuat di majalah Al Falah YDSF Surabaya edisi April 2013)

Tuesday, December 17, 2013

Makin Rapi Shaf, Makin Dekat Rahmat & Pertolongan Allah

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kedisiplinan dan keteraturan hidup. Hal ini tercermin dari pelaksanaan shalat berjamaah. Pengaturan shaf shalat punya makna akan kerapian yang cermat. Bahkan penanaman nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melebihi kerapian dan kedisiplinan militer.

Seperti layaknya upacara kemiliteran, seorang imam bertanggung jawab memeriksa barisan atau shaf makmumnya. Jika komandan upacara menginspeksi pasukan sebelum upacara dimulai, demikian pula seorang imam. Ia harus menata dan merapikan shaf jamaahnya sebelum takbiratul ikram. Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Ratakan (rapat & lurus) shaf kalian, sebab meratakan shaf adalah termasuk kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari-Muslim). Jadi tidak sempurna shalat jamaah kita jika tidak rapi shafnya.  

Selain itu, imam tidak cukup hanya berkata luruskan dan rapatkan shaf lantas memulai shalat sedangkan shaf makmumnya masih belum rapi. Imam juga harus memberi pengarahan dan perhatian khusus kepada makmum yang belum sempurna posisinya. Berikut ini beberapa panduan mengatur kerapian shaf bagi imam dan makmum berdasar tuntunan Rasulullah saw.:

1. Sebelum memulai shalat, hendaknya imam memeriksa dan mengatur shaf makmum hingga benar-benar rapi.
Nu’man bin Basyir ra berkata, “Rasulullah saw. meratakan shaf kami sebagaimana meratakan anak-anak panah. Sehingga beliau merasa bahwa kami telah memenuhi perintahnya itu dan benar-benar mengerti. Tiba-tiba suatu hari beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan melihat ada seseorang yang menonjolkan dadanya ke depan, maka Nabi saw. bersabda, “Hendaklah kamu meratakan shafmu atau kalau tidak maka Allah akan memperlainkan-lain wajahmu semua (akan selalu dalam perselisihan dan sengketa)! (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, & Turmudzi).  

2. Makmum dianjurkan mengisi shaf terdepan.
Nabi saw. bersabda, “Andaikata manusia tahu pahala yang tersedia untuk memenuhi panggilan azan serta shaf pertama, kemudian orang-orang itu tidak dapat memperolehnya kecuali dengan jalan undian, niscaya mereka akan merebutnya walau dengan cara undian itu” (HR. Bukhari ).    

3. Makmum memulai shaf dari tengah (persis di bekalang imam) lalu berurutan ke kanan, baru kemudian mengisi barisan di sisi kiri.
Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memberi rahmat serta mendoakan supaya diberi rahmat bagi orang-orang yang shalat di yang sebelah kanan” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah dari Aisyah ra). Meski sebelah kanan harus dipenuhi dahulu, hendaknya posisi sang imam tetap di tengah. Nabi saw. bersabda, “Tempatkanlah imam itu di tengah dan penuhilah sela-sela shaf” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah ra). Meskipun secara sanad hadits ini dinyatakan lemah, namun secara makna dan isi benar, karena sesuai dengan kesimpulan yang didapat dari sekumpulan hadits shahih terkait.
4. Hendaknya makmum tidak membuat shaf baru sebelum shaf di depannya terpenuhi.
Di suatu hari ketika hendak memulai shalat berjamaah, Nabi saw. bersabda, “Tidakkah kalian ingin berbaris sebagaimana halnya malaikat di hadapan Allah?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana cara malaikat berbaris di hadapan Allah?” Nabi saw. menjawab, “Mereka menyempurnakan dulu shaf pertama serta merapatkannya benar-benar” (HR. Jamaah dari Jabir bin Samurah ra).

5. Makmum mengisi atau menyambung shaf di depannya yang masih kosong/putus.
Nabi saw. bersabda, “Barang siapa menyambung shaf, maka hubungannya akan disambung pula oleh Allah. Dan barang siapa yang memutuskan shaf, maka hubungannya akan diputuskan pula oleh Allah” (HR. Nasai, Hakim, Ibnu Kuzaimah dari Ibnu Umar ra).

6. Meluruskan dan merapatkan shaf hingga dada atau bagian tubuh seseorang tidak lebih maju/mundur atau tak ada celah di antara orang yang ada di sisinya.
Hendaknya makmum mendekat satu sama lain hingga bahu dan kaki saling menempel. Janganlah terpaku pada alas shalat atau sajadah hingga ada celah. Nabi saw. bersabda, “Ratakan shafmu, rapatkan bahu-bahumu, lunakkan tangan berdampingan dengan saudara-saudaramu dan tutupilah sela-sela shaf itu. Karena sesungguhnya setan itu memasuki sela-sela itu tak ubahnya bagai anak kambing” (HR. Ahmad & Thabrani dari Abu Umamah).

Semua ini menunjukkan bahwa merapikan shaf memiliki kedudukan penting dalam mendirikan, membaguskan, dan menyempurnakan shalat. Kerapian shaf mengandung keutamaan, pahala, menghimpun, dan menyatukan hati kaum muslimin. Dan pertolongan Allah swt. pun akan niscaya semakin dekat.(oq, dari berbagai sumber)




Thursday, January 24, 2013

Resep Prof.Dr.Kudang Boro Menghafal Alquran Di Tengah Kesibukan & Usia Lanjut


Faktor usia dan kesibukan bukan halangan untuk belajar dan menghafal Alquran. Sosok yang satu ini telah membuktikannya. Adalah Prof.Dr Kudang Boro Seminar, M.Sc. Guru Besar Teknik  Teknologi Komputer Institut Pertanian Bogor (IPB) ini punya kesabaran dan komitmen yang patut dicontoh. Ia menceritakan bagaimana ia memulai belajar menghafal Al Quran di usia 40 tahun.

KUDANG memulai dari cerita saat ia pertama kali kuliah S1 di IPB jurusan pertanian pada 1979. Di awal kuliah, ia ikut ujian tulis mata kuliah Agama Islam. Saat itu ada soal hanya diminta menuliskan surat Al Fatihah. “Saya nggak kerjakan. Jadi selama setengah jam saya diam saja,” tuturnya.

Kudang mengaku sejak kecil ia hanya mendapat pendidikan agama hanya di sekolah SD, SMP dan SMA dan Perguruan Tinggi (IPB), sedangkan di rumah belum tumbuh pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga. “Orang tua saya baru masuk Islam setelah saya menyelesaikan tingkat persiapan bersama (akhir semester II pada 1980). Sejak SD-SMA, saya hanya ikut-ikutan saja mengikuti pendidikan agama Islam. Setelah menikah, baru saya belajar membaca al-Qur’an  dari istri yang lebih lebih mahir dari saya,” ungkap pria kelahiran Jember, 18 November 1959 ini.

Awalnya ia merasa cukup belajar mengaji al-Quran kepada sang istri. Kemudian ia mendapat kesempatan studi S2 dan S3 di Kanada pada 1986. “Saya sempat depresi di awal-awal tinggal di Kanada. Jauh dari anak istri. Lalu kultur yang sangat berbeda dengan Indonesia. Belum lagi, ilmu yang saya pelajari menyimpang dari disiplin ilmu sebelumnya. Sarjana saya pertanian. Tapi di Kanada saya memperdalam komputer,” akunya saat bercerita di hadapan jamaah Masjid Ar Rahmah Jln. Teluk Buli Surabaya (12 Januari 2013) lalu.

Alquran=Software Hidup
Dia melihat dekadensi moral yang parah di negeri bagian utara benua Amerika itu. “Saya pernah diminta hadiri pernikahan warga asli. Ternyata mereka sudah tinggal serumah selama delapan tahun sebelum pernikahan. Hidup bebas antara pria dan wanita serta dijual dan digunakannya alat-alat kontrasepsi secara terbuka memang menyuburkan hubungan pria wanita tanpa ikatan pernikahan. Kultur yang serba bebas seperti ini membuat saya stres,” lanjutnya.

Ia kemudian mengibaratkan kehidupan manusia seperti komputer yang baru bisa berfungsi jika dipasang Sistem Operasi atau Operating System (OS) seperti Windows atau Linux. Tanpa OS, komputer ibarat bangkai piranti keras yang tidak bermanfaat. Tingkat kualifikasi dan kehandalan sebuah komputer sangat bergantung pada OS-nya. Semakin handal dan canggih OS-nya, semakin tinggi pula pula kinerja komputer itu.

Jika komputer saja yang merupakan artifak (ciptaan manusia) memerlukan OS, maka tentu manusia sebagai ciptaan (makhluk) Allah memerlukan OS yang jauh lebih handal dan komprehensif. Agar manusia itu bisa menjalankan fungsinya sesuai kehendak Pencipta-nya. “Lalu apakah sistem operasi untuk manusia? Tidak lain adalah agama yang ditetapkan oleh Allah swt. yang termaktub dalam Kitabullah (al-Quran) dan sunnah Rasulullah saw,” bebernya.

Tanpa sistem operasi, itu manusia ibarat hewan (akhlak & perilakunya), seperti firman-NYA, “...Mereka itu ibarat binatang ternak, bahkan lebih buruk lagi...” (QS. Al A'Raaf (7):179). Kualifikasi (kemuliaan) manusia di mata Allah tergantung pada seberapa besar muatan agamanya tertanam atau ter-install pada dirinya,” ulasnya.

Dengan itulah ia bertekad untuk memperdalam agama Islam yang inti sarinya ada di al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia mengutip firman, “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim kecuali kerugian” (QS. Al Isra 82). 

Pucuk di cinta ulam tiba. Di Kanada, ia kenal dengan seorang hafidz Al Quran asal Sudan. “Namanya Yahya Fadhlala. Dia kokoh dalam beragama dan telah menikah dengan warga asli Kanada yang telah terbimbing berbusana dan berbudaya muslimah. Malah istrinya itu lebih islami ketimbang kebanyakan muslimah Indonesia saat itu. Hal ini menambah motivasi bagi saya untuk belajar agama darinya,” ungkapnya.

Ia pun mulai belajar membaca al-Qur’an dari Yahya. Di situlah ia benar-benar merasakan perombakan bagaimana membaca Alquran yang benar dengan berbagai tingkat kesulitan ia hadapi. Karena bacaan yang ia miliki sebelumnya harus banyak dikoreksi. “Saya semakin intensif belajar tidak saja al-Qur’an tetapi masalah agama yang lain.  Ia bersyukur justru di Kanada yang Islamnya sangat minoritas justru kesempatannya besar memperdalam agama,” jelasnya.

Pada 1993, Kudang kembali ke tanah air. Semangat belajar Alquran masih sangat kuat hatinya. Ia pun mencari guru di Jakarta. Dan dengan izin-Nya. “Saya bertemu dengan Ustadz KH Ahmad Musyaffa, Alhafidz. Beliau punya sembilan saudara (laki dan perempuan) yang kesemuanya hafal Alquran,” jelasnya.

Kudang merasa nyaman belajar dengan guru baru ini. “Karena saya diperlakukan bukan seperti santri reguler. Saya diberi keringanan dan keleluasan waktu untuk belajar. Mungkin Ustadz Musyafffa mempertimbangkan kalau saya punya profesi dan kesibukan sebagai pengajar dan PNS. Jadi ya diberi diskon,” ucapnya sambil tersenyum.

“Ustadz Musyaffa bilang jam berapa saja saya mau datang ke rumahnyadi Jakarta, beliau siap menerima saya. Pulang ngajar jam 9 malam atau bahkan jam 12 malam, beliau dengan sabar dan tulus menerima. Saya pun tidak menyia-nyiakan kemudahan ini,” kenangnya.

4 Resep Jitu
Ia membocorkan sejumlah resep belajar Alquran yang ia dapat dari gurunya itu. Pertama, belajar Alquran -baik membaca apalagi menghafal- harus berguru. Kedua, musti sabar tidak tergesa-gesa. Ketiga, mohon kepada Sang Pemilik kalimat al-Qur’an, yaitu Allah swt.

Ketiga resep itu, termaktub di ayat 16-19 surat Al Qiyamah. “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.”

Saat menghafal Alquran, sambungnya, kita harus benar-benar patuh atas perintah guru. “Di sini kesabaran itu diuji. Misalnya sebelum menghafal saya disuruh membaca dengan melihat kitab dan didengar serta dikoreksi bacaan saya hingga 30 juz, dan itu berlangsung sekitar 3 tahun baru saya diperbolehkan mulai menghafal al-Qur’an.  Saya ikuti saja perintah guru,” ujarnya.

Kesabaran ektra sangat dibutuhkan saat menghafal. “Di ayat 16, Allah melarang Nabi saw tergesa-gesa menghafal. Beliau diperintah untuk taat mengikuti Jibril. Karena yang membuat kita hafal dan memperkokoh hafalan itu adalah Allah. Itu janji Allah yang tersurat di ayat 17. Jika Nabi saja dilarang terburu-buru, apalagi kita. Dengan demikian, kepatuhan terhadap guru dan kesabaran kita mengundang pertolongan Allah. Lalu kita berdoa kepada Allah untuk memberi kekuatan menghafal dan menjaganya,” urainya.

Kudang telah membuktikan janji Allah ini. Setelah 4 tahun membaca bin nadzor (melihat lembaran bukan menghafal), ia mulai menghafal. “Alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan satu putaran (khatam) dalam 5 tahun. Padahal saat itu saya sudah usia 45 tahun lebih. Dua hari sekali dari Bogor saya ke Jakarta untuk menghadap ustadz. Kalau ada kegiatan kampus atau lainnya, saya usahakan ganti di lain hari,” ucapnya.

“Saat ini saya sudah putaran ketiga,” jelasnya. Mempertahankan bacaan adalah tugas yang terberat. “Kuncinya menyediakan waktu untuk menderes bacaan & hafalan sebanyak dan serutin mungkin dan sekuat menjaga diri dari perbuatan maksiat, itu pesan guru saya. Al-Qur’an adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Tak mungkin keduanya bisa bersatu,” tegasnya.

Ada yang Lebih Tua
Resep terakhir yang ia beberkan adalah memperbanyak hadir dalam majelis Al-quran. “Kita perlu sesering mungkin ikut acara khataman atau majelis Al-quran,” katanya. Atas nasihat gurunya, Kudang mencoba menerapkan acara pengajian & khataman al-Quran tiap pekan sekali di kampus. “Alhamdulillah ternyata ada mahasiswa, dosen dan pegawai yang tertarik dan termotivasi untuk belajar al-Quran bahkan ada yang sampai menghafalnya,” ungkapnya.

“Yang pasti membaca dan mendalami Alquran jangan sampai luntur. Dengan banyak ikut halaqah Al quran akan menambah semangat. Usia bukan halangan untuk menghafal Alquran 30 juz. Saya tidak pedulikan usia, pokoknya terus belajar. Guru saya menceritakan ada seorang ibu yang  mulai belajar menghafal di usia 50 tahun. Dan alhamdulillah dia mampu walau memerlukan 15 tahun,” pungkasnya.

Kita perlu yakin dengan firman-Nya, “Kami telah memudahkan al-Qur'an untuk dipelajari. Maka adakah orang yang mau mempelajarinya?" Ayat itu diulang sebanyak 4 kali di surat al-Qamar, yaitu di ayat 17,22,32, & 40. “Ini menunjukkan penekanan dan dorongan kuat kepada kita bahwa al-Quran dijadikan mudah untuk dipelajari, asalkan  bersungguh-sungguh, istiqomah, dan tertib mengikuti prosedur yang benar,” pungkasnya.{}

PROFIL SINGKAT
Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc

Guru Besar bidang Teknologi Komputer di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) dan Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FAMIPA), IPB.

Menyelesaikan studinya pada strata S1 di IPB tahun 1983, dan strata S2 serta  S3 di Faculty of Computer Science University of New Brunswick Canada pada tahun 1989 dan 1993.  Bidang riset yang ditekuni mencakup Information Engineering, Software Engineering, Intelligent Systems, Distance Learning, Internetworking, Computer-Based Instrumentation & Control Systems.

Sejak menyelesaikan studi doktornya, mendapat amanah untuk menjadi Ketua Departemen Teknik Pertanian IPB (1997-2000), Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Keteknikan Pertanian IPB (2000-2003), Kepala Bagian (Lab) Ergotron( 2008-kini), Kepala Perpustakaan IPB (2003-2007), dan Direktur Komunikasi dan Sistem Informasi IPB (2007-kini).

Terlibat dalam tim desain & implementasi pembentukan Departemen Ilmu Komputer IPB, Program Studi Magister Komputer IPB, Program Studi Manajemen Teknologi Informasi untuk Perpustakaan IPB, pembukaan program Doktoral Jalur Riset Ilmu Keteknikan Pertanian IPB, serta pembentukan rumpun Departemen Teknik di IPB.

Dalam bidang keprofesian, menjabat Ketua HIPI/ ISAI (Himpunan Informatikan Pertanian Indonesia/Indonesian Society of Agriculture Informatics) , presiden AFITA (Asian Federation for Information Technology in Agriculture), dan anggota PERTETA (Perhimpunan Teknik Pertanian/ Indonesian Society of Agricultural Engineering).

Kesempatan menggali ilmu yang sangat berharga adalah kesempatan menimba dan mendalami ilmu agama khususnya Al-Qur’an baik dalam  membaca dan mengkajinya sejak tahun 1996 hingga saat ini. Melalui bimbingan guru-guru yang yang bersahaja (tawadhu’) dalam ketinggian ilmunya yang salah satunya berperingkat hafiz (penghafal Al-Qur’an) tanpa meninggalkan profesi sebagai akademisi, peneliti, dan pendidik.
SUMBER BIODATA:
http://kseminar.staff.ipb.ac.id/biodata/



Thursday, January 10, 2013

Bila Masjid Tiba-tiba Hilang, Warga Sedih Atau Lega?

Sungguh suatu kemuliaan bagi siapa saja yang bersedia ikut andil dalam membangun atau mendirikan masjid. Apalagi sampai ikut aktif dan memakmurkannya dengan kegiatan. Namun, pernahkah kita berpikir, manfaat apa saja sih yang dirasakan masyarakat dari keberadaan masjid yang kita bangun dan yang kita kelola?

Pernahkah kita bayangkan, bila tiba-tiba masjid yang kita kelola lenyap begitu saja? Kira-kira warga sekitar masjid merasa kehilangan ataukah merasa lega? Tentu pertanyaan ini harus mampu kita jawab sebagai pendiri maupun pengurus masjid.


Apakah masyarakat terdekat masjid merasa lega ketika tiba-tiba masjid hilang tak berbekas?

Apakah mereka merasa bebas dari beban karena selama ini masjid terlalu banyak meminta?
Apakah mereka merasa plong karena sebagian kecil atau besar pengurusnya termasuk public enemy?
Apakah mereka tidak merasa apa-apa ketika masjid menghilang karena memang selama ini masjid tidak memberi manfaat apa-apa selain sekadar tempat shalat? Karena, masjid yang diwakili pengurusnya tidak tahu -atau tidak mau tahu- segala kesusahan dan kesulitan warga sekitarnya. Karena masjid tidak memberi kontribusi apa-apa -padahal mampu- ketika ada situasi antara hidup-mati ataupun situasi yang sangat menentukan masa depan umat?Apakah mereka merasa merdeka karena bebas dari ‘gangguan’ yang selama ini timbul dari masjid?

Ilustrasi seperti ini semakin menemukan pembenaran ketika kita lihat, baca atau dengar kas keuangan masjid -umumnya yang di perkotaan- mencapai puluhan juta rupiah. Bukankah pemberi infaq & shadaqah itu segera mendapat pahala karena dananya tersalur dengan penuh manfaat, bukan hanya ngendon di bank atau hanya memenuhi kaleng masjid selama berbulan atau bahkan bertahun?

Saya pernah tahu sebuah masjid di tengah kota Surabaya yang jelang khutbah Jumat pengurusnya mengumumkan kas masjid mencapai Rp 90 juta. Padahal ada beberapa rumah warga yang temboknya menempel di dekat ruang imam kondisinya benar-benar memprihatinkan. Pemukiman mereka agak kumuh dan bisa dipastikan penghidupan para penghuninya bisa dibilang sangat tidak layak.

Ada pula masjid masih satu kecamatan dengan masjid pertama tadi malah tak ada toilet khusus wanitanya. Padahal kas masjidnya mencapai Rp 60 juta. Kondisi toilet prianya pun tidak terlalu bagus. Kita harus sedikit membungkuk agar bisa masuk ke dalamnya. Terlalu sempit & rendah dimensi ruangnya.


Saya tidak menafikan masih banyak masjid yang keadaannya berbanding terbalik apa yangt terjadi pada kondisi di atas. Banyak pula masjid yang tentunya masih butuh dukungan masyarakat sekitarnya. Namun, eksistensi masjid-masjid kita perlu pembenahan serius dan repositioning.


Kita kuatir masjid yang dirikan dan kita kelola tidak punya manfaat yang benar-benar masuk ke ranah paling dalam dan paling pribadi di hati umat, khusunya yang membutuhkan uluran tangan. Apakah kebutuhan sekolah para santri TPQ, apakah kebutuhan modal usaha milik jamaah yang terjerat rentenir, apakah keperluan kuliah remaja/pemuda masjid, apakah biaya berobat warga yang sedang ditawari pengobatan gratis dari umat lain, bahkan mencarikan jodoh jamaah yang masih lajang, dll.

Apakah kita –para pengurus/takmir masjid- pernah atau bahkan sering keliling di kalangan warga sekitar dan mencari dengar apa saja kesulitan hidup mereka yang sekiranya masjid bisa bantu. Ya mirip sidak-nya Umar bin Khattab di malam hari ketika beliau jadi khalifah.

Atau tidak perlu sidak, namun membuka forum semacam klompencapir era Orba dulu. Teknisnya bisa pascakajian, kemudian dibuka sesi dengar pendapat atau curah saran yang menjadi kendala hidup jamaah. Mungkin tidak semua masalah segera teratasi oleh masjid & pengurusnya. Namun setidaknya umat atau jamaah punya tempat curhat. Bukankah dulu Rasul saw. selalu bertanya keadaan hari itu pada sahabat beliau satu per satu etelah shalat berjamaah di masjid. Terkadang para sahabat sendiri yang mengadukan masalah hidup mereka kepada Nabi saw ketika beliau masih di masjid.


Semua demi rajutan ukhuwah antara pengurus dan jamaah/warga yang dengan itu kita berharap Allah memberi perlindungan di padang mahsyar kelak. Hal ini telah Allah janjikan lewat lisan Rasul mulia, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:


(1)Pemimpin yang adil,
(2) Seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Rabbnya,
(3) Seorang yang hatinya selalu terikat/rindu kepada masjid,
(4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berkumpul dan berpisah karena Allah pula,
(5) Seorang lelaki yang di ajak zina oleh wanita yang kaya dan cantik tapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’,
(6) Seseorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinfaqkan oleh tangan kanannya, serta
(7) Seorang yang berzikir kepada Allah di kala sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (Shohih Bukhari, Hadits no 620).

Namun, untuk menggapai kemuliaan ini tentu harus ada ikhtiar serius yang harus kita lakukan. Kita –para pengurus- harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: untuk kepentingan siapa masjid dibangun? Ada atau tak ada masjid, apakah ada pengaruhnya bagi masyarakat? Kemanfaatan apa yang mestinya dirasakan umat terhadap masjidnya?{}

Thursday, January 3, 2013

Memberdayakan Para 'Penghuni' Masjid


Malam itu saya mengantar istri ke kampus di Semolowaru Surabaya. Saya berangkat dari Jagir Sidosermo saat masih sayup-sayup terdengar suara azan tanda masuk waktu isya. Karena jalanan masih macet pascahujan lebat, saya pun sampai di masjid kampus sesaat setelah salam jamaah isya. Saya masuk masjid setelah mengantar istri hingga gerbang kampus.

Setibanya di masjis, saya pun bergegas ke ruang wudhu. Saya berharap masih ada satu dua jamaah yang ambil wudhu agar saya ada teman shalat berjamaah. Alhamdulillah, masih ada satu jamaah yang baru selesai wudhu dan kami pun shalat isya berjamaah.

Selesai shalat, saya bersantai di serambi bagian timur masjid. Masih ada satu jam lebih sebelum istri selesai kuliah. Saya sempatkan menyantap nasi goreng oleh-oleh dari rekan kerja istri sebelum berangkat ke kampus tadi. Sambil makan, saya lihat keadaan di serambi. Di tengah ada seorang bapak sedang rebahan. Tampaknya ia baru pulang kerja jika diperhatikan dari penampilannya dan motor yang ia parkir di dekatnya. Ia tidak mengenakan seragam. Hanya baju kemeja biasa.      

Lalu di dekat tembok serambi bagian selatan, ada dua bapak yang mengenakan peci dan sarung. Jika di lihat, jelas mereka bukan mahasiswa atau pegawai kantoran. Dan benar, mereka dua abang becak yang tiap malam tidur di masjid. Becak keduanya di parkir dekat mereka duduk meski agak jauh dari parkir motor saya. Saya yakin mereka baru saja ikut shalat berjamaah dan begitu keseharian mereka.

Potensi yang Tersiakan
Saya pun sengaja duduk dekat kedua abang becak itu. Awalnya saya menyalakan laptop sambil mengisi waktu sebelum istri selesai kuliah. Tapi rasa penasaran saya terus mengusik. Saya pun lalu menyela obrolan keduanya saat mereka sibuk mempermainkan ponselnya.

Saya tanya apakah betul mereka itu pemilik kedua becak yang sedang dipakir itu. Merekan pun menjawab sambil tetap sibuk memainkan ponselnya. Lalu saya saya tanya lagi apakah mereka tiap malam bermalam di masjid ataukah kebetulan mampir saja. Mereka mengaku tiap malam tidur di sana. Saya terus bertanya tentang mereka dan masjid, termasuk ada berapa kawan mereka yang bermalam di masjid. Hingga saya sampai pada pertanyaan apakah ada interaksi mereka dengan pengurus masjid.

Mereka menjawab bahwa tidak ada komunikasi atau interaksi khusus dengan takmir. Saya pun terus tanya apoakah mereka punya tugas khusus yang tetap dari pengurus masjid. Mereka menggelangkan kepala. Mereka cuma bilang ada kerja bakti (bersih-bersih) masjid tapi tidak tiap pekan. Mereka diminta bantu. Itu saja.

Kesimpulannya praktis,secara umum mereka tidak terlibat atau dilibatkan oleh pengurus dalam pengelolaan masjid. Termasuk saat penyembelihan qurban atau shalat jumat. Jangankan dalam urusan strategis, dalam urusan teknis dan detil pun mereka tidak dilibatkan ataupun diberdayakan. Sungguh amat disayangkan. Padahal rata-rata pengurus masjidnya adalah dosen dan pemuda masjidnya para mahasiswa. Tentu saja kadar intelektual mereka lebih mumpuni ketimbang abang becak tadi. Saya yakin sebenarnya pengurus mampu memberdayakan para penghuni masjid itu.

Menurut saya inilah salah satu titik kelemahan kebijakan pengelolaan masjid. Sangat jarang sekali masjid -dalam hal ini para pengurusnya- mau apalagi mampu memberdayakan sekaligus warga sekitar masjid. Seolah-olah ada jurang pemisah yang lebar. Masjid ya masjid, warga ya warga. Masjid hanya untuk ritual saja, shalat dan ceramah saja. Sedikit sekali ada pelibatan stakeholder atau setiap orang/pihak yang berkepentingan dengan masjid.    

Seandainya saja mereka diberi tugas khusus, tentu mereka akan merasa sangat senang. Saya membayangkan mereka diberi tugas menjaga keamanan dan kebersihan masjid, khususnya di malam hari. Saya yakin mereka akan bersedia. Mereka mengaku siap saat saya tantang. Toh, mereka juga mendapat manfaat dari masjid. Mereka mengaku cukup bersyukur bisa tidur malam hari di sana. Gratis lagi.

Dengan populasi yang mencapai 10 lebih, tentu akan lebih ringan tugas jaga. Kan bisa dengan cara shift atau gantian tiap beberapa jamnya. Dan ternyata memang kejadian kehilangan masih sering terjadi di sana. Demikian menurut pengakuan mereka, misalnya motor, dompet, tas, dll.

Banyak Jalan Menuju Iman
Pengurus yang bijak dan jeli akan mempertimbangkan pola interaksi yang lebih humanis. Tidak hanya dipersilakan istirahat dan fasilitas MCK secara cuma-cuma, namun juga mereka diberi insentif bila mereka mau ikut menjaga keamanan sekaligus kebersihan masjid. Saya yakin mereka akan semakin cinta dengan masjid. Ajak mereka kajian agar menambah pemahaman agama mereka.

Mengapa cinta? Bukankah masjid sudah menjadi rumahnya sendiri? Mereka tidur, mandi, cuci, dan parkir becaknya di sana. Artinya hampir seluruh waktu hidupnya berada di masjid dan aset hidupnya juga ia bawa serta, kecuali saat bekerja saja. Bukankah ini salah satu ciri dari tujuh golongan yang dilindungi Allah di hari kiamat kelak, yaitu orang yang hatinya terikat di masjid.

Pola pemberdayaan seperti ini bisa dilakukan tidak hanya penghuni malam seperti mereka saja. Warga yang mencari penghidupan di dekat masjid juga harus diikat dengan nilai dakwah & sosial ala masjid. Misalnya para pedagang kaki lima (PKL) atau warga yang temboknya menempel ke masjid. Mereka berhak mendapat kemanfaatan masjid. Pengurus harus mampu merumuskan pola pemberdayaan seperti apa yang pas. Karena tiap lokasi bisa berbeda penanganan.

Misalnya para PKL itu diberi ruang berjualan secara gratis dengan syarat mereka ikut menjaga kebersihan dan keamanan masjid. Bila perlu, beri mereka tambahan modal dari dana zakat, infaq shadaqah dari jamaah masjid. Beri pinjaman lunak tanpa bunga (qardul hasan) atau jika via koperasi/BMT bentukan masjid. Agar tak ada kesempatan kaum rentenir menjerat mereka. Dan tentu saja ini akan membuat hati mereka makin cinta dengan masjid. Karena tidak semua orang mampu mempertebal imannya hanya dengan ceramah atau nasihat saja.

Silakan perhatikan sikap Nabi saw. terhadap kaum tulaqo atau orang-orang Mekah yang baru memeluk Islam pascaperang Hunain. Tentu kita akan paham mengapa perlakuan Rasul saw. terhadap mereka sangatlah berbeda terhadap mereka ketimbang kaum Anshar. Oleh karena itu, para pengurus harus punya analisis sosial yang tajam demi pembinaan umat yang lebih humanis.{}