Thursday, July 10, 2008

Agar Peradaban Lahirkan Kemakmuran

Sudah menjadi kodrat jika manusia harus memilih. Apakah kita akan memilih jalan kebenaran ataukah kita memilih jalan kesesatan? Itu semua terpampang jelas di depan kita. Pilihan itu ada pada diri kita sendiri. Potensi kebaikan dan keburukan telah Allah tanamkan pada setiap insan. Allah berfirman, ”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS Asy Syams 8).

Masing-masing pilihan memiliki konsekuensi yang jelas. ”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya,” demikian firman-Nya ketika mebeberkan kesudahan akhir jalan yang ditempuh manusia.

Manusia yang dibekali hardware berupa jasad, ruh, dan akal tidaklah tanpa tujuan. Lewat lisan Nabi Shalih as, Al Quran mengingatkan manusia, ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)" (QS. Huud 61).

Peradaban yang dibangun harus manusia hendaknya perwujudan pengabdian kepada-Nya dan memakmurkan bumi. Bukannya sebaliknya. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar-pilar peradaban harus membawa penghuni bumi tunduk kepada Sang Khaliq dan menjadikan bumi lebih makmur.

Menjadi Orang ’Kaya’

Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada sopirnya. ”Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?” Sang sopir menjawab, ”Cuaca hari ini adalah cuaca yang sukai.” Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, sang direktur bertanya lagi, ”Kenapa kamu bisa begitu?” Sang sopir mrnjawab, ”Begini Pak, saya sudah belajar kalau saya tidak selalu mendapatkan apa yang saya sukai. Karena itu, saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan.”

Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur, kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tentram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tidak bahagia.

Ada 2 hal yang membuat kita tidak bersyukur. Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan bukan pada apa yang kita miliki. Mari kita luruskan pengertian orang kaya. Orang yang kaya bukanlah orang yang memiliki segala hal, tetapi orang yang dapat menikmati apa pun yang mereka miliki.

Seorang ibu yang tetap berbahagia padahal ia sedang terapung di lautan karena kapalnya baru saja karam. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, ”Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang satu meninggal sedang yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi, kalau pun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena insya Allah akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.”

Maka berbahagialah orang yang mampu menjaga hatinya untuk tetap dalam kesyukuran. Karena memang syukur, sebagaimana yang dipaparkan Syaikh Said Hawwa dalam Jalan Ruhani, adalah maqam (kedudukan) tertinggi seorang mukmin.{}

Monday, May 5, 2008

Meng-copy-paste Rasulullah saw. & Dua Kutub Ekstrem

”Ah itu ‘kan Nabi Muhammad. Mana mungkin kita bisa menirunya.” Mungkin kita sering mendengar komentar seperti ini. Atau kita juga pernah tahu ada orang berkata, ”Nabi ’kan juga manusia biasa. Bisa juga salah.” Nah lho?

Bagaimana kita harus meluruskan dua kutub ekstrem di atas? Yang satu menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai sosok yang untouchable. Kelompok ini merasa ciut semangatnya ketika mendengar betapa mulia akhlak sang rasul dengan melontarkan kalimat seperti pada baris pertama paragraf di atas. Kita merasa minder jika harus copy-paste kepribadian manusia yang dipuji penduduk langit dan bumi itu. Atau menganggap Nabi saw. itu sebagai manusia yang sangat ’hebat’ seperti bisa tahu yang ghaib, bisa meramal, bisa terbang, tidak mempan senjata tajam, dsb.Padahal, Nabi Muhammad saw. juga tidak tahu yang ghaib kecuali dari wahyu. Beliau juga bisa sakit, terluka, sedih,menangis,menikah,berjalan di pasar, dan aktivitas lazimnya manusia biasa.

Ketika Perang Uhud, Nabi saw. terluka dan beberapa gigi beliau tanggal karena serangan musuh.Allah berfirman, "Jika kamu mendapat luka (dalam Perang Uhud), sesungguhnya kaum (kafir) itu mendapat luka yang serupa (dalam Perang Badar)(QS. Ali Imran 140). Bahkan kaum kafir dulu merasa heran mengapa rasul kok kayak manusia biasa, sebagaimana diceritakan dalam Al Quran ayat 7 yang artinya, "Dan mereka berkata, 'Mengapa rasul ini makan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?" (QS Al Furqon 7).Nabi saw. mengaku tidak tahu yang ghaib, seperti yang termaktub di surat Al An'am ayat 50, "Katakanlah, 'Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti melainkan apa yang diwahyukan kepadaku...

Tak heran jika praktik-praktik bid’ah dan khurafat menjangkiti kelompok pertama ini. Padahal itu semua itu tidak lain adalah tipu daya syaithan dari golongan jin. Makanya, ada ’tokoh agama’ yang mengaku tahu yang bakal terjadi melalui mimpi atau mengaku tahu rahasia di balik sebuah peristiwa tanpa pembuktian secara ilmiah. Runyamnya, banyak masyarakat yang percaya begitu saja dengan tokoh ini. Dengan berkedok mengamalkan doa atau lafal tertentu (padahal bid’ah), tokoh-tokoh semacam ini laris manis menerima ’order’ resep kaya mendadak, sukses ujian, dapat jodoh, menang pemilu, bisnis lancar, jabatan naik, dsb. Sejatinya, tokoh ini telah berkomplot dengan golongan jin.

Kutub kedua menganggap Rasulullah saw. sebagai manusia biasa yang bisa salah dan berbuat dosa. Sehingga kita tidak harus mengikuti ajarannya. Pandangan ini terdengar logis. Tapi, perlu kita ingat bahwa Rasulullah saw. memang manusia biasa. Tapi, Allah swt. menjaga beliau dari sifat-sifat buruk. Apa saja yang beliau lakukan dan ucapkan tak lain adalah wahyu dari Allah swt sebagaimana dalam surat Al Kahfi ayat 110 yang artinya, ”Dan katakan (Muhammad), ’Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa seperti kamu yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa....” Kutub ekstrem kedua ini biasanya dianut aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL).

Di ayat lain, Allah swt. menegaskan bahwa apa yang diucapkan Nabi saw. benar-benar wahyu dari-Nya. Bahkan Allah memberi jaminan validitas ucapan Muhammad bin Abdullah saw. sebagai wahyu. Allah berfirman, ”Ia (Al Quran) adalah wahyu yang diturunkan Tuhan seluruh alam. Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya (tindakan sekeras-kerasnya). Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya)” (QS. Al Haqqah 43-47). Oleh karenanya, para nabi dan rasul terjaga dari kesalahan atau disebut ma’shum.

Rasulullah saw. diutus untuk di-copy-paste sebagaimana bunyi ayat 21 surat Al Ahzab yang artinya, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dalam kalimat syahadat kita bersaksi untuk bahwa Muhammad saw. adalah abduhu (hamba Allah) dan rasuluhu (utusan-Nya). Kata abduhu berfungsi menyangkal kutub ekstrem pertama yang menisbatkan Nabi saw. ’sakti’ seperti jin. Sedang kata rasuluhu menolak anggapan nabi tidak harus diikuti karena juga bisa salah. Padahal Nabi saw. bersifat ma’shum atas izin Allah swt. Rumusnya, abduhu sangkalan untuk kelompok ’jin’ dan rasuluhu antitesis untuk kelompok JIL. ”Sehingga, kalimat asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu sebagai ’senjata’ bagi jin dan JIL,” begitu kata Ustadz Amanto Surya Langka, Lc, Direktur Ma’had Umar Bin Khaththab Surabaya, dalam sebuah kajian.

Pertanyaannya sebenarnya mudah saja. Apakah kita sudah berusaha dengan sekuat tenaga meneladani beliau?
Meski sulit meniru Rasulullah saw. 100 persen, kita diwajibkan untuk terus berusaha. Dengan potensi yang kita punyai (kecerdasan, kemauan, dan kekuatan), kita tapaki jalan perjuangan beliau.
Mungkin tidak bisa 100 persen, mungkin 60 persen dulu. Baru kemudian naik ke 70 hingga 99 persen. Janganlah berdalih tidak mampu meniru Nabi saw. padahal kita belum berusaha secara maksimal.Jika kita berjuang semaksimal mungkin, Allah swt. akan memberi pertolongan. ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Kita harus buka berbagai referensi tentang perikehidupan beliau dan kita amalkan sekuat tenaga. Ajaklah sebanyak mungkin saudara kita seiman untuk bersama memperjuangkan risalah Nabi Muhammad saw. hingga akhir hayat. Semoga Allah menguatkan langkah kita meneladani Rasulullah saw. Amin. Wallahu a’lam.