Tuesday, July 12, 2011

Halaqoh 2.0

Oleh Rizqul Akbar

Manhaj tarbiyah jamaah kita sungguh luar biasa hebatnya. Sepanjang saya berinteraksi dengan ikhwah2 dari jamaah salafi atau HT boleh dikatakan manhaj atau sistem penddidikan tarbiyah inilah yang menurut saya paling syamil. Ini patut disyukuri sebab karena pondasi membangun jamaah (manhaj) relatif sudah tidak ada persoalan. Para asatiz kita sudah melakukan tugasnya secara baik dengan melahirkan produk kurikulum yang fantastis.

Tetapi agak aneh rasanya dilapangan justru menunjukkan hal yang tidak sejalan dengan manhaj yang ada. Kajian-kajian kitab ilmu syariah ikhwah salafi begitu kental atau sy lihat bgmn halaqoh HT yang secara luamyan serius mendidik para kader intnya untuk menguasai bahsa arab.

Ada ustaz mengatakan ya akhi setiap jamaah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing2. Atau ada yang mengatakan jamaah kita masih kekurangan ahli syariah yang mampu mengcover banyaknya kader, atau ada juga yang bilang dalam era siyasi ini kita lebih memfokuskan pada kerja dakwah siyasi (jihad siyasi). jawaban lain mengatakan, inilah kalo jamaah lebih memprhatikan politik daripada tarbiyah. Tetapi ada jawaban yang lbih jujur, iya akhi manhaj kita memang sudah baik, tapi kita masih lemah dalam mengimplementasikannya. Tugas kita mari sama2 untuk menjalnkan manhaj ini dengan sebaik2nya.

Tidak! sy tidak ingin bermaksud mempertentangkan antara politik dan tarbiyah atau politik dan dakwah. Sy hy ingin mencari solusi agar bagaimana manhaj tarbiyah itu tidak 'tertinggal', meninggalkan atau ditinggal oleh hiruk-pikuk ajang cari suara. Karena itu sy menawarkan konsep halaqoh 2.0.

Halaqoh 2.0!, pasti sebagian bingung, nih istilah baru. Tenang, sy nggak mau bikin manhaj baru apalagi manhaj tandingan . Konsep dasar halaqoh 2.0 ini boleh dikatakan mirip dengan konsep e-learning. Bukan pada kontennya tapi pada sistem belajarnya.

Ide ini berangkat dari kesimpulan bahwa: tanzim masih kesulitan menerapkan manhaj tarbiyah yang begitu besar dengan kapasitas, ruang, tenaga, dana, sumber daya manusia yang terbatas. Karena itu perlu terobosan baru dalam soal sistem pembelajaran.

Kok ada 2.0 nya? sebenarnya ini istilah saya saja merujuk pada perkembangan dunia web/internet dimana website 2.0 dg ciri khas user dan pembuat bisa beriteraksi dengan intens, ya semacam site gaul facebook, blog dst.

Implementasi dari halaqoh 2.0 ini adalah bagaimana ustaz/murobbi atas nama struktur bisa memberikan taujih, tulisan, materi baik berupa teks, audio, audiovideo kepada seluruh kader. Kader tinggal mandaftar lalu login dan mendownload materi yang tersedia.

Lo, kalo begitu bisa menghilangkan fungsi halaqoh? E-learning atau halaqoh 2.0 ini sbnrnya tidak ada tjuan sama sekali untuk menghilangkan peran halaqoh. Tetap halaqoh tatap muka itu kapanpun tidak bisa tergantikan. E-learning ini hanya sebagai komplemnter dari situasi dimana misalnya tidak semua murobbi/mutarobbi menguasai materi2 yang telah ditetapkan dlam manhaj atau menyempurnakan pembelajaran dari raunagn 2 x3 dan hanya 2 / 3 jam per lliqo menjadi anywhere and anytime.

Terus terang, saya sendiri baru menyadari ternyata halaqoh2 dengan ilmu panahnya itu lebih banyak mempelajari soal aqidah dan fiqhud dakwah. Soal-soal lain seperti fiqh, ushul fiqh, hadits, ulumul quran, tafsir, bhs arab nyaris tak dipelajari. Mknya byk yg mengeluh, kok halaqoh ngomonginnya partai melulu, pantas sj didebat sedikit saja sama salafi kader kebingungan.

Idealnya kader bisa mandiri tidak tergantung halaqoh yang kemampuan MRnya brgkli pas2an, misalnya dengan cara kuliah syariah, tapi ya itu terlalu byk alasan yang akhirnya gk kesamapian kuliah syariah. Sebab itulah dalam milis ini ide ini saya sampaikan, tentu konsepnya brkli tidak sesaklek apa yang sy ditulis diatas, karena itu saya hanya ingin temen2 melihat esensi dan ide dasarnya.

Akhirnya, kebijakan umum ada di struktur, insya Allah kalau tanzhim serius membenahi kualias kader dengan memperbaiki penerapan manhaj solusi selalu ada, masa untuk ajang pemilu struktur habis2an tapi soal tarbiyah hmmm ya tau sendrilah :)

mohon tanggapan ikhwah sekalian.. demi kemajuan PKS, Partai Ku Sayang

wallhu a'lam

Wednesday, June 15, 2011

Mau Jadi Orang Shalih Seperti Apa Kita?

Bila langkah kaki kita salah, kita sendirilah yang akan bertanggung jawab. Jika karya kita buruk, kita sendirilah yang akan di-hisab (dihitung). Saat perut kita serakah, kita sendirilah yang akan memuntahkannya kelak di akhirat. Kalau kita lengah, kita sendirilah yang meratapinya di hari kiamat kelak.

Itulah yang sejak dulu dipahami orang-orang shalih, yang pernah singgah dan berjaya di muka bumi ini dengan keshalihannya. Kepada mereka, kita sampaikan doa dan penghormatan. Lalu bertekadlah bulat-bulat, bagaimana agar kita setegar mereka.

Suami shalih

Ibrahim as merupakan sosok suami shalih yang dikisahkan Al-Qur’an. Selain sibuk berdakwah dengan segala kiatnya, ia juga sangat mencintai keluarganya. Karenanya, ketika ia harus meniggalkan Hajar, istrinya, ia pasrahkan istrinya kepada Allah. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak punya tanam-tanaman di dekat rumah engkau (Baitullah) yang dihormati.” (QS Ibrahim 37).

Pelajaran: Dengan keshalihan yang handal, Ibrahim membangun logika terbalik. Ia justru memohon buah-buahan padahal sebelumnya ia berkata bahwa di tempat istrinya itu tidak ada tanaman. Bagaimana ada buah tanpa ada tanaman? Ibrahim yakin semua itu mudah bagi Allah. “…dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim 37).

Wanita shalihah

Maryam adalah sosok wanita shalihah yang dikisahkan Alquran. Putri Imran itu selalu menjaga dirinya. Bahkan ia lantas menyepi ke daerah timur menjauhi keluarganya. Ia begitu kuat menjaga kesuciannya dan kehormatannya.

Pelajaran: ketika malaikat membawa perintah dari Allah sekalipun, Maryam masih menggunakan ukuran moral dan keshalihan yang selama ini ia pegang teguh. “Bagaimana aku punya anak padahal aku belum pernah disentuh oleh manusia dan aku bukan pezina?” (QS Maryam 20). Padahal yang datang adalah malaikat mulia dari sisi Allah yang Mahasuci. Bagaimana dengan kita yang godaannya datang dari setan dan bukan malaikat yang membawa benih bayi?

Pemuda shalih

Ashabul Kahfi adalah para pemuda yang lari dari kekejaman penguasa di zamannya, lantaran mempertahankan agama mereka. Hidup di zaman penuh dengan kekafiran. Akhirnya mereka lari ke gua. Dan Allah menidurkan mereka selama 309 tahun. Kisah mereka Allah kabarkan dalam surat Al Kahfi.

Pelajaran: siapa yang konsisten menjaga keshalihan, Allah pasti akan memberi jalan keluar bila keshalihan tersebut mendapat rintangan. Secara teknis harus tetap dicari strategi terbaik. Tapi Allah sendiri telah menjamin, “Sesungguhnya Allah telah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al Hajj: 8). Maka, lari meninggalkan keshalihan sama buruknya dengan mencari jalan aman kepada selain keshalihan itu sendiri.

Anak shalih

Ismail as putra Ibrahim as. Prestasi keshalihannya yang paling menonjol adalah sikapnya saat akan disembelih ayahnya. Sebuah ketegaran yang luar biasa. Kepasrahan kepada perintah Allah yang tiada terkira serta bakti kepada orang tua tercinta.

Pelajaran: sabar menjaga keshalihan dan taat kepada Allah akan mendapat balasan yang jauh lebih baik dari kesabaran itu sendiri. Allah mengganti domba untuk disembelih dan menjadikan peristiwa itu sebagai syariat yang kekal hingga kiamat. Bagaimana dengan kita? Bukanlah bentuk ketatan itu kini tidak lagi harus siap disembelih?

Istri shalihah

Istri Fir’aun merupakan teladan istri shalihah. Ia bagian dari keluarga Fir’aun tapi bisa menjadi wanita shalih. Ia juga berperan menyelamatnya Musa as. Semua telah diatur oleh Allah swt. Ia sangat mengharap bisa masuk surga, “Ya Rabb-ku bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkan aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS At-Tahrim: 11).

Pelajaran: keshalihan tidak tergantung lingkungan, meski lingkungan turut mempengaruhi. Seburuk apapun lingkungan seorang muslimah, tak ada yang beban hidupnya seperti hidup bersama Fir’aun. Tapi istri Fir’aun mampu menjaga keshalihan. Bagaimana dengan kita yang hidup di tengah kaum muslimin?

Penguasa shalih

Tak ada orang yang punya kekuasaan seperti Sulaiman as, bahkan sampai kapan pun. Tapi kekuasaannya itu justru membuatnya semakin shalih. Bukan sebaliknya. Ia berkata, “ini adalah karunia Rabbku, untuk menguji apakah aku bersyukur atau ingkar” (QS. An-Naml: 40).

Pelajaran: Siapapun yang berkuasa di muka bumi ini tidak ada yang bisa menyamai Sulaiman as. Tapi Sulaiman as menjadi penguasa yang shalih. Bagaiman dengan kita? Bila di antara kita ada yang menjadi penguasa, yakinlah bahwa kekuasaan itu tak ada seujung kuku dibanding kekuasaan Sulaiman as. Lalu mengapa mesti sombong dan semena-mena? Tidaklah kita meneladani keshalihan Sulaiman as?

Pejabat shalih

Yusuf as memimpin jabatan yang ‘basah’ tapi tidak terfitnah. Dua hal yang menonjol dari sikap Yusuf as. Pertama, kemandirian. Sejak pertama ia berdiri atas nama dirinya sendiri. Tidak dipengaruhi kepentingan orang lain, apalagi yang kotor. Kedua, ia bekerja profesional, tidak karena kepentingan dan ambisi politiknya.

Pelajaran: keshalihan mutlak diperlukan bagi siapa saja yang memegang amanah atau jabatan tertentu. Keshalihan akan menjadi pebimbing seorang pejabat pada saat banyak benturan kepentingan menggodanya. Bagaimana dengan kita? Seberapa jauh jabatan kita disangga iman yang kuat? Ataukah sekadar wujud keserakahan kita?

Militer/tentara shalih

Thalut diangkat menjadi panglima perang padahal sebelumnya tidak terlalu dikenal, apalagi dikenal kaya. Bani Israel protes. Tapi karena keshalihannya, ilmu, dan kekuatan fisiknya, maka Allah memilihnya (lihat QS. Al-Baqarah 247).

Pelajaran: Keshalihan dan keahlian harus diutamakan dalam memilih pemimpin, bukan senioritas atau popularitas. Keshalihan akan membimbing segi konsepsi dan hukum. Sedang keahlian mengajari strategi dan teknik oprasional. Sejauh mana kita membekali diri dengan keshalihan dan keahlian? Bukankah hidup itu keras dan berat? Bukankah musuh-musuh Islam itu keras dan berat?

Ilmuwan shalih

DzulQarnain terkenal pandai di zamannya. Ia membawa ilmu baru yang belum dikenal oleh penduduk yang tinggal di antara dua buah gunung. Saat itu ada dua bangsa, Ya’juj dan Ma’juj yang suka membuat kerusakan di muka bumi. Dengan izin Allah, Dzulqarnain mampu menumpas mereka dengan ilmu dan keahliannya untuk membuat benteng dari besi dan tembaga. (selengkapnya lihat surat Al-Kahfi 83-98).

Pelajaran: Hanya keshalihan yang mampu mengendalikan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi agar tidak melahirkan kerusakan. Tanpa keshalihan, teknologi bisa jadi hanya akan membunuh, membodohkan, mengeksploitasi, dan juga menghinakan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita meng-‘Islam’-kan keahlian kita?(sumber: Tarbawi edisi 9 Thn. I).{}

Wednesday, June 1, 2011

Apa yang Salah Pada Kita?

Perbedaan antara negara berkembang/miskin dan negara maju tidak tergantung pada umur negara tersebut. Misalnya India dan Mesir. Kedua negara ini umurnya lebih dari 2.000 tahun. Tetapi keadaan keduanya tidak jauh berbeda dengan umumnya negara miskin lainnya di Asia dan Afrika.

Di sisi lain negara seperti Singapura, Kanada, Australia, atau Selandia Baru umurnya tidak lebih dari 150 tahun dalam membangun. Saat ini negara-negara itu termasuk negara maju dan penduduknya tidak lagi miskin.

Ketersediaan sumber daya alam juga bukan jaminan sebuah negara menjadi kaya atau miskin. Jepang misalnya. Wilayah negeri Sakura itu tidaklah luas dan sering dilanda gempa atau tsunami. Sekitar 80 persen daratan negeri matahari terbit itu berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan.

Tetapi saat ini Jepang menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Jepang laksana sebuah negara ’industri terapung’ yang sangat besar. Mereka mengimpor bahan baku dari semua negara dan mengekspor barang jadinya ke seluruh penjuru dunia. Hampir semua produk otomotif dan elektronik terkenal berasal dari negara yang pernah porak-poranda akibat bom atom itu.

Contoh lainnya adalah Swiss. Negara ini bahkan tidak punya perkebunan coklat. Tapi negara yang benderanya mirip logo organisasi Palang Merah ini merupakan negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara ini sangat kecil yaitu 41.285 km2. Sebagai perbandingan, Provinsi Jawa Timur luasnya 47.922 km2. Hanya sekitar 11 persen daratan Swiss yang bisa ditanami.

Swiss juga penghasil susu terbaik dunia. Nestle yang berasal dari Swiss merupakan salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia. Negara yang beribukota di Bern ini juga tidak punya cukup reputasi dalam pertahanan-keamanan (hankam) dan militer. Tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.

Kota-kota Swiss memiliki sistem pemerintahan yang sangat bagus. Zurich misalnya. Kota terbesar di Swiss ini mendapat predikat sebagai kota yang memiliki kualitas hidup terbaik di dunia pada 2006 dan 2007. Karenanya, Swiss juga menjadi tuan rumah pelbagai organisasi internasional seperti PBB, WHO, ILO (organisasi buruh dunia), dan UNHCR (komisi tinggi PBB untuk urusan pengungsi).

Ada lagi sebuah fakta yang unik. Ternyata para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan rekannya dari negara berkembang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Misalnya Indonesia. Sebenarnya ada sejumlah cendekiawan asal Indonesia yang berkelas internasional. Seperti B.J. Habibie misalnya. Artinya sebenarnya potensi kecerdasan setiap individu tetaplah sama.

Apalagi faktor ras dan warna kulit. Faktor turunan ini bukanlah faktor penting bagi maju atau terbelakangnya suatu bangsa. Para imigran yang dikatakan malas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang produktif di negara maju/kaya di Eropa. Banyak atlit hebat yabg bermain di klub-klub sepak bola raksasa Eropa berasal dari negara-negara miskin di Afrika. Samuel Eto’o atau George Weah misalnya.

Lalu sebenarnya apa yang perbedaan antara bangsa yang maju & kaya dengan bangsa berkembang & miskin? Jawabnya adalah pada sikap atau perilaku masyarakatnya yang terbentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.

Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-hari mematuhi prinsip dasar kehidupan sosial. Berikut contoh prinsip-prinsip dasar itu:

Prinsip Dasar Kehidupan Sosial
1. Etika
2. Kejujuran & integritas
3. Bertanggung jawab
4. Hormat pada aturan dan tata tertib
5. Hormat pada hak orang/warga lain
6. Cinta pada pekerjaan
7. Berusaha keras untuk menabung dan investasi
8. Mau bekerja keras
9. Displin dan tepat waktu

Kita terbelakang/lemah/miskin bukan karena kurang sumber daya alam atau alam kejam kepada kita. Kita tertinggal karena kita kurang kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara.

Jika kita tidak hijrah dari keadaan ini, maka selamanya kita tidak akan berubah menjadi lebih baik. Negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam ini akan tetap terjerat kemiskinan dan keterbelakangan. Allah swt. berfirman, ”...sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan dirinya mereka sendiri...”(QS. Ar Ra’d 11).

Wednesday, March 9, 2011

Mendengar vs MendengarKAN

Saat ini kita lazim menjumpai orang dengan ‘khusyuknya’ menggunakan headset. Entah mendengarkan radio atau sekadar mendengarkan lagu dari ponselnya atau dari mp3 player miliknya sambil berjalan atau mengendarai kendaraan. Jadi, sebenarnya secara lahiriah kita ini mendengar banyak hal. Secara sepintas ini sesuai dengan hikmah bahwa manusia mempunyai dua telinga dan satu mulut. Maksudnya, perbanyaklah mendengar daripada bicara.

Namun fakta yang terjadi hampir sebaliknya. Secara lahir memang kita makin banyak mendengar. Kita banyak mendengar kabar dari beragam model media massa, mendengar lantunan, atau mendengar perkataan orang via internet apakah itu chatting, blog, atau situs jejaring sosial (facebook, twitter, dll.).

Namun agaknya kita baru sekadar MENDENGAR bukan MENDENGARKAN. Banyak mendengar tapi sedikit sekali mendengarkan alias menyimak dengan seksama. Akhiran kan pada kata mendengar merupakan adanya proses mendengar disertai konsentrasi penuh perihal sesuatu yang didengar itu.

Jadi apakah kita sudah cukup mendengarkan himbauan di banyak papan reklame untuk menjaga kebersihan, kebersihan itu sebagian dari iman, membuang sampah pada tempatnya? Ataukah kita dengan santainya membuang tisu di jalan dari atas kendaraan kita, membuang bangkai tikus di jalan, menimbun sampah di selokan?
Apakah kita mendengarkan peringatan di pintu lintasan kereta api dan berhenti ketika punutup jalan telah diturunkan? Ataukah kita mencoba nyelonong dengan alasan kereta masih jauh sambil mempertaruhkan nyawa kita dan orang lain?

Apakah juga kita mendengarkan khatib Jumat yang selalu berpesan untuk melaksanakan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya dimana pun kita berada? Ataukah kita masih tak mau mengkaji & mengaji apa saja yang diperintah dan dilarang Allah swt. sehingga kita tabrak rambu-rambu dari Allah dan rasul-Nya?

Apakah kita mendengarkan kritik dan protes masyarakat luas saat hendak berangkat studi banding dalam kapasitas kita sebagai pejabat publik? Ataukah kita tetap berangkat plesir berkedok studi banding ke suatu tempat yang sepertinya tidak ada relevansinya bagi rakyat?

Apakah kita mendengarkan jerit tangis para korban bencana dan rintihan fakir miskin di sebelah rumah kita atau bahkan kerabat kita yang tak mampu sehingga menggerakkan tangan kita untuk mengulurkan santunan? Ataukah jari kita masih sibuk memilih beragam ponsel terbaru dengan fitur canggih yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan fitur-fitur itu?

Apakah kita mendengarkan saran dan gagasan karyawan, anggota organisasi atau anggota keluarga sehingga kita bisa mengambil keputusan/kebijakan yang bisa mengayomi mereka? Ataukah kita tetap keras kepala memaksakan pendapat kita sendiri tanpa banyak mempertimbangkan saran pihak lain?

Apakah kita masih mau mendengarkan suara paling dekat dan paling jujur dengan kita yaitu suara nurani, sehingga kita bisa memilih sikap yang menenteramkan hati? Ataukah kita telah membungkam suara nurani kita sendiri hingga berbuat sekehendak hawa nafsu tanpa pedulikan rasa malu?

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam banyak dari golongan jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al A’raf 179).

Kita memohon perlindungan kepada Allah swt. dari sikap yang demikian. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti” (QS. Ali Imran 193). Amin ya rabbal ‘alamin.{}

Apapun Formatnya, Ini Bekalnya (tadabbur surat Quraisy)


-->
Diskusi mengenai perjuangan mewujudkan masyarakat berdasar Al Quran & Sunnah Nabi saw. sebenarnya bisa kita ambil inspirasi dari surat Qurasiy.
Surat nomor 106 itu memberi panduan bagi aktivis dakwah untuk memperjuangkan sendi-sendi masyarakat Islami.
Setiap perjuangan pasti punya landasan filosofis atau akar ideologis. Bagi pejuang dakwah Islam, landasan ideologisnya harus mengacu pengabdian kepada Allah swt. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).” Ayat ke-3 surat Quraisy ini harus bisa membuat para pejuang dakwah mencanangkan cita-cita perjuangannya, yaitu tiada yang patut diibadahi dan ditaati kecuali Allah Rabbul alamin.
Maka apapun cara dan teknis perjuangan tetap harus mengacu pada keikhlasan kepada Allah semata. Kekuasaan hanya perantara demi menjalankan amanah sebagai pemakmur bumi, kekuasan itu bukan tujuan itu sendiri. “…Shaleh berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (QS. Huud 61). Ada contoh yang diberikan Al Quran: Daud as, Sulaiman as, & Yusuf as.
Penyalahgunaan kekuasaan (demi memperkaya diri, penindasaan, pembantaian, dll.) merupakan kezaliman dan perbuatan merusak (fasik) yang menodai keikhlasan perjuangan di hadapan Allah swt. Penyalahgunaan kekuasaan ini diwakili ikonnya oleh Firaun. Selebihnya antum semua bisa cari contoh sendiri.
Penindasan dan kefasikan bisa terjadi dalam format apapun, baik khilafah, monarki, maupun demokrasi. Silakan cari sendiri contohnya. Akh Sigit Kamseno punya banyak contoh :)
Setelah jelas ideologi perjuangan, Al Quran memberi panduan agar pejuang dakwah setelah bekerja ikhlas, maka kita harus bekerja keras dan kerja cerdas. Langkah stategis yang harus dijebarkan para pejuang dakwah mengacu pada ayat ke-4 surat Qurasiy:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” Untuk para pejuang dakwah harus bisa mewujudkan kondisi ekonomi yang menjanjikan dan jaminan keamanan bagi semua orang, baik muslim maupun kaum dzimni.
Ketercukupan pangan dan kehidupan ekonomi yang menjanjikan diwakili potongan ayat memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar. Sedangkan aspek keamanan diwakili kalimat mengamankan mereka dari ketakutan.
Maka para pejuang dakwah harus mampu menyiapkan sekaligus mengaplikasikan konsep keuangan dan ekonomi (makro & mikro) yang bernafaskan kaidah syariah. Bagaimana bisa menegakkan khilafah jika konsep, infrastruktur, dan SDM ekonomi syariah tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Jangankan menandingi ekonom sekuler-liberal, orangnya saja belum ada. Saya pernah mendengar pengakuan dari seorang dosen juruasan ekonomi syariah Universitas Airlangga sekarang ini masih sulit mencetak SDM pebankan syariah yang andal. Padahal kebutuhan SDM perbankan syariah saat ini sangat tinggi. Kata dia, mahasiswanya yang lulusan pesanten umumnya lemah di sisi analitis-matematis. Sedang yang lulusan SMA, lemah penguasaan bahasa Arab sehingga sulit menelaah kitab fiqih.Jadi, apakah harakah dakwah sudah punya lembaga kajian ekonomi Islam? Kalau belum, jangan mimpi dirikan khilafah. Ini baru dari sisi perbankan, belum fiskal, eskpor impor, invetasi, saham, dll. jadi, jangan hanya menggerutu jika masih dikepung sistem ekonomi kapitalis yang ribawi.
Aspek Hankam
Saudara kembar dari aspek ekonomi & keuangan adalah pertahanan dan keamanan. Bagaimana bisa berbisnis dan bekerja kalau kondisinya tidak aman? Bagaimana jika banyak kriminal? Belum lagi menjaga asset-aset Indonesia yang total luasnya hampir sama dengan benua Eropa. Apakah kita sudah menyiapkan konsep kemiliteran yang tangguh di tengah persenjataan yang minim dana dan teknologinya?
Apakah kita menyiapkan konsep karir militer & polisi yang profesional di tengah carut marut TNI/polisi yang jenjang karirnya ala ‘arisan’ berdasar posisi ‘basah’? Bagaimana membuat konsep wajib militer yang adil dan egaliter sebagai solusi minimnya anggaran hankam? Belum lagi pembinaan mental tentara/Polisi yang memang penuh problem.
Apakah juga kita sudah menyiapkan psikolog yang ustadz/ah atau ustadz/ah yang psikolog untuk membina militer agar tidak mudah menembak istri atau pacar sendiri sat cekcok? Atau siapkah membina spiritual anggota militer agar tidak mudah emosional saat adu mulut dengan kesatuan lain di jalanan. Belum lagi praktik beking, jual beli kasus, hingga suap seperti Gayus begitu gampangnya melancong saat ditahan. Bagaimana pula merehabilitasi napi agar tidak kambuh atau terpaksa kambuh karena kadang di penjara mereka tambah ‘pintar’ (karena bergaul dg yang senior)
Tidak mudah membina di kalangan militer atau birokrasi. Kebetulan saya kenal dengan seorang ustadz dan ustadzah yang membina di rumah tahanan dan kantor polda. Mereka bagaikan oase di tengah gurun. Kering sekali spiritual di LP. Rata-rata napi butuh tempat curhat masalah mereka. Kadang mereka takut tidak diterima lagi di keluarga dan masyarakat. Atau para petugas keamanan yang harus patroli dengan bensin uang sendiri. Belum lagi polusi udara yang mengancam mereka. Itulah sebabnya iman mereka mudah goyah dengan berbekal surat tilang atau main-main dengan pasal pidana.
Masih banyak aspek lain yang melingkupi aspek ekonomi-keuangan & hankam. Karena memang setiap negara/pemerintahan bekerja keras untuk mengatasi dua aspek dasar ini. Adakah dari harakah dakwah mempersiapkan konsep Islamnya plus SDM nya yang andal dan dalam jumlah yang memadai? Pertanyaan yang harus kita jawab bersama.
Ibarat slogan iklan teh, APAPUN ‘MAKANANNYA’ (apakah khilafah, monarki, demokrasi), MINUMNYA (bekal) INI (surat Quraisy).
Wallahu a’lam.

Tuesday, February 15, 2011

Apakah Setiap Muslim Otomatis Menjadi Dai?


Apakah seorang muslim bisa menjadi? Mungkin iya mungkin tidak. Iya bagi mereka yang memang mempersiapkan diri untuk berdakwah. Tidak bagi mereka yang merasa tak mampu (atau mau) berdakwah tentang nilai-nilai Islam.


Bagi mereka yang apatis terhadap dakwah Islam, acap kali terdengar argumen ah saya ini kan tidak pandai soal agama atau saya kan belum baik atau juga itu sudah tugas para ustadz/kiai. Mungkin sekilas dalih seperti ini bisa diterima.


Namun argumen lain membantah dalih di atas. Dr. Achmad Satori Ismail, Ketua Umum Ikadi Pusat pernah menyatakan, ”Jika Anda seorang petani, tidak membuat sesaji saat panen itu sudah dakwah. Jika Anda tertib shalat berjamaah di kantor, itu sudah dakwah dan memberi teladan bagi orang lain. Pun ketika Anda berlaku sopan pada rekan lawan jenis dan menutup aurat dengan baik, itu juga dakwah.”




Jadi, menurut argumen ini menjadi dai tidak hanya hanya berdiri dan berceramah di mimbar saja. Itu hanya salah satu dari sekian banyak cara mendakwahkan Islam di tengah masyarakat. Memberi teladan pun termasuk cara seorang dai menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Istilah dakwahnya disebut dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan). Dan sering kali pengaruhnya lebih besar daripada kata atau ceramah. Ada ungkapan, ”Perbuatan lebih kuat menancap daripada ucapan.”


Dan juga tidak harus menunggu punya banyak ilmu. Sebab, tentu sampai akhir hayat pun ilmu kita tak akan pernah banyak. Karena ilmu Allah itu seluas samudera tak bertepi. Karenanya, Nabi saw. bersabda (artinya), ”Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” Jadi, apa yang kita tahu itulah yang kita sampaikan. Tidak harus banyak, yang penting tepat sasaran.


Menjadi juga tidak harus baik dahulu. Kalau menunggu bisa jadi shalih, tentu tidak ada orang sanggup berdakwah. Karena setiap orang pasti punya kelemahan. Adanya kekurangan tidak menghilangkan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Said bin Zubair pernah berkata, ”Kalau orang tidak mau amar makruf nahi munkar sampai dirinya tak ada sesuatu (yang tidak baik), niscaya tak akan ada seorang pun yang beramar makruf nahi munkar.”


Ada pula ulama yang terkenal keilmuan agama hingga ia punya banyak pengikut di masa silam. Suatu saat ia berkata di hadapan para muridnya, ”Seandainya kalian tahu bagaimana keadaan diriku di balik pintu ini (rumah), tentu kalian tidak akan mau mengikuti aku.” Maksudnya, meski ia terpandang dalam hal agama namun tetap saja ia punya kelemahan yang selalu ia tutupi di hadapan manusia. Hanya Allah-lah yang tahu aib seseorang.


Yang penting apa yang kita dakwahkan tidak melampaui batas kemampuan diri sambil terus membenahi diri. Dan yang terpenting adalah kita berkomitmen pada Islam dan berpartisipasi pada nilai-nilai kebenaran & kebaikan dimana saja berada.

Seorang rekan dosen politeknik di Surabaya, saya memangilnya Mas Firman Arifin. Dengan cerdik ia mengibaratkan manusia seperti magnet. Jika magnet bisa menarik dan juga mengarahkan logam, maka seharusnya manusia mampu berbuat yang sama. Jika medan magnet kecil, tentu radius daya tarik/dorongnya juga kecil. Begitu sebaliknya.


Jika kita merasa kapasitas diri kita kecil, ya gunakan saja daya tarik & dorong di lingkungan terdekat. Menyuruh anak shalat atau mengimbau anak putri & istri berbusana muslimah jika keluar rumah misalnya. Semakin besar kapasitas diri, semakin besar pula radius dakwahnya. Demikian seterusnya. Jangan sampai di radius terdekat saja kita enggan berdakwah.


Bisakah kita mempunyai daya magnet? Jawabannya, pasti bisa! Bagaimana caranya? Kalau mau membuat magnet, sebatang besi harus dialiri arus listrik atau menggeseknya dengan magnet permanen.


Kalau kita mau jadi ‘magnet’ bidang keilmuan misalnya, kita wajib mengaliri ‘arus’ ilmu yang kuat melalui banyak membaca buku atau ‘menggesekkan’ diri (baca: berguru) ke orang berilmu. Begitu tips dari Mas Firman.


Sebenarnya, sikap sinis terhadap berdakwah atau amar makruf nahi mungkar berdampak buruk di masyarakat, termasuk kita sendiri. Ibarat ada orang melubangi kapal untuk mengambil air di kapal yang juga kita naiki. Orang yang mengambil air kebetulan berada di dek bawah. Mereka malas harus naik untuk mengambil air. Ini lebih cepat, begitu pikir mereka. Jika kita tidak melarang mereka, tentu seluruh penumpang akan tenggelam termasuk kita. Demikian perumpamaan orang yang berdakwah. Selain mencegah kerusakan, berdakwah juga upaya menyelamatkan diri sendiri.


Ada tiga golongan manusia dalam menyikapi nilai atau norma kebenaran. Ada yang pro, kontra, dan ada pula apatis. Saya tidak mengatakan netral untuk kelompok terakhir ini. Sebab, netral itu cenderung apatis alias cuek.


Dengan indah, Allah swt. menggambarkan tiga kelompok ini dalam surat Al A’raf ayat 163-164, ”Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik” (QS. Al A’raf 163)


”Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, "Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? "Mereka menjawab, "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertakwa" (QS. Al A’raf 164). Yang pro proaktif memberi nasihat, yang kontra diwakili oleh mereka yang bandel mengambil ikan di hari sabtu, dan yang apatis hanya berkata sinis sambil meragukan nasihat kelompok pertama.


Lalu bagaimanakah keputusan Allah terhadap mereka? ”Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al A’raf 165). Di ayat ini tidak disebutkan nasib kelompok yang apatis. Wallahu a’lam bish shawab. Hanya Allah yang tahu.

Kini terserah kita, mau jadi kelompok yang mana?


*Catatan kecil dari hamba yang kecil & fakir ilallah