Monday, December 31, 2012

Tak Cukup Berdoa Hanya Untuk Anak Sendiri


Pikiran apa yang paling menggelayuti di benak para orang tua? Tentu saja, tidak lain dan tidak bukan: pikiran soal anak. Setiap doa yang kita panjatkan -setelah doa untuk orang tua- selalu dipanjatkan kepada Allah untuk kebaikan anak, ya anak kita sendiri.

Suatu saat -selesai shalat- saya sering berdoa robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yunin wa'ajnal lil muttaqina imama 'Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa' (QS. Al Furqan 74).

Setiap melafalkan doa itu saya selalu saya membayangkan wajah si Faiz, anak semata wayang yang sudah 4,5 tahun usianya. Tiba-tiba di lain waktu saat berdoa saya terbayang anak-anak lain yang sebaya dengan Faiz kecil. Tidak hanya itu, saya membayangkan nasib generasi seangkatannya.    

Awalnya saya sangat berharap Allah memberi memberi kekuatan saya untuk mendidik anak hingga menjadi anak shalih. Saya yakin pada dasarnya setiap orang tua berharap sama. Namun kali itu di benak saya menemukan prespekstif yang logika yang lebih luas.

Saya berharap anak-anak negeri -semoga termasuk saya & para orang tua lainnya juga- komunitas orang shalih sebagaimana yang terangkum dalam golongan alladzina an'amta alaihim. Jadi selain berharap si Faiz juga saya doakan, saya memohon kepada Allah agar anak-anak negeri ini menjadi shalih. Dengan doa, kita berharap Allah menolong kita saat mendidik anak-anak bangsa. Agar yang baik jadi lebih banyak & berdaya.

Mengapa saya harus ikut mendoakan anak-anak orang lain? Sebab, kalau mayoritas mereka baik, tentu akan mempengaruhi anak lainnya, termasuk si Faiz juga. Kenapa mayoritas? Walaupun selalu ada anak yang tidak baik, namun kita memohon kepada Allah agar memberi inayah agar mayoritas ini mampu berlaku shalih. Dengan demikian, yang mayoritas ini akan melahirkan miliu (lingkungan) yang baik pula. Dengan pendidikan yang baik & massif, insya Allah akan menciptakan miliu yang baik pula.

Bukankah sebetulnya penggerak kebaikan dan keburukan itu hanya beberapa orang tertentu saja. Yang banyak itu hanyalah para pengikut saja. Toh di dunia ini selalu ada yang baik & jelek. Dan kedua selalu berebut pengaruh dan masing-masing mencari pengikut. Kita tak ingin anak kita terpengaruh generasi yang buruk laku & lemah iman. Na'udzubillah min dzalik.

Dari perspektif ini, saya menemukan sebuah hikmah. Kita tidak bisa egois sehingga memikirkan anak dan mendidik anak saja, tanpa peduli sedikitpun memikirkan pendidikan generasi seusia mereka. Sebab  setiap kita punya tanggung jawab mendidik, baik sebagai orang tua, sebagai muslim maupun sebagai warga negara.    

Jika Anda berada di Surabaya dan sekitarnya, insya Allah akan kenal Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al Hikmah Gayungan Surabaya. Umumnya orang mengenalnya cukup dengan sebutan Sekolah Al Hikmah. Ada penerapan pendidikan yang cukup menarik terkait luasnya perspektif & tanggung jawab pendidikan di lembaga pendidikan yang punya jenjang TK-SMA itu.

Semua staf dan karyawan di Al Hikmah disapa dengan sebutan ustadz ataupun ustadzah. Tidak hanya guru, namun juga pegawai tata usaha, satpam hingga petugas kebersihan sekalipun. Suatu kali saya bertanya kepada salah kepala sekolah yang sebelumnya cukup lama mengajar di sana. Saya tanya, “Mengapa semua siswa menyapa ustadz/ah ke semua staf & pegawai sekolah selain guru? Umumnya kan hanya guru saja yang disapa demikian di sekolah Islam ataupun pesantren”

Ia menjawab bahwa semua guru, pengurus yayasan/lembaga, staf tata usaha, sampai pegawai kebersihan mendapat amanah yang sama dalam mendidik anak-anak. “Mereka semua dapat tanggung jawab untuk mendidik sekalipun punya job desc yang berbeda,” Eddy Kuncoro, kepala sekolah SMP di lingkungan LPI Al Hikmah itu. Sehingga jika ada suatu nilai kebaikan yang perlu diajarkan siswa, bisa saja itu dilakukan meskipun oleh petugas kebersihan. “Misalnya seorang petguas kebersihan perlu menegur siswa agar meletakkan sampah di tempat yang telah disediakan. Lagipula sebutan ustadz ini agar anak-anak memberi penghormatan yang sama antara guru & karyawan lembaga,” jelasnya.

Doktrin ini memang tepat bila diterapkan kepada siswa Al Hikmah. Karena LPI Al Hikmah terkenal sebagai sekolahnya anak borju alias anak-anak golongan keluarga atas di Surabaya. Jika tidak diterapkan nilai pemghormatan seperti ini, mereka bisa seenaknya menyuruh atau berlaku kurang hormat kepada staf atau pegawai level bawah. Sebab anak-anak seperti itu terbiasa dilayani pegawai di rumahnya, apakah sopir ataukah pembantu rumah tangga.

Kembali ke laptop, tanggung jawab bersama ini semakin menjadi kebutuhan ketika tawuran antarpelajar masih menjadi borok pendidikan negeri ini. Tentu kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta ini. Kita tidak bisa berdalih, “Ah itu kan bukan anak saja” atau “Itu kan bukan murid saya.” Sebab, bagaimana pun mereka calon pemimpin negeri ini, merekalah pewaris negeri. Apakah kita ridho negeri ini diwariskan kepada generasi yang mendahulukan emosi daripada akal sehat? Apakah kita rela mayoritas generasi negeri ini keblaksak, kata orang Jakarta? Tentu tidak.

Ada seorang nenek yang cukup aktif di kegiatan PKK di perumahan orang tua saya. Ketika dampak kris ekonomi 1998 silam sangat memukul kondisi, ia sempat berujar. “Susah ya kondisi negara ini sekarang. Tapi yang paling saya kuatirkan bagaimana nasib anak-cucu ini ke depan. Tentu mereka mengalami masa yang jauh lebih sulit.” Maksud beliau, walaupun pada zaman revolusi dulu kondisinya susah, tapi tantangan hidup zaman itu tidak seberat sekarang.

Tanggung jawab pendidikan menjadi amanah setiap kita. Dengan demikian kita bisa merintis bangunan yang kokoh & indah di masa depan bagi generasi selanjutnya. Saya teringat sebuah hadits Nabi saw tentang pentingnya kita saling mengingatkan dan saling memberi edukasi demi kebaikan bersama.

"Perumpamaan orang yang melaksanakan perintah Allah dengan orang yang melanggarnya adalah seperti satu kaum yang berbagi tempat di sebuah kapal. Sebagian orang mendapat tempat di bagian atas, sedangkan sebagian yang lain mendapat tempat di lambung kapal.
..

“...Orang-orang yang berada di lambung kapal, jika ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas. Mereka berkata, 'Sebaiknya kita lubangi saja lambung kapal ini (untuk mengambil air) agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas.' Jika keinginan mereka itu tidak dicegah, mereka semua akan binasa. Sebaliknya jika dicegah mereka semua akan selamat." (HR Bukhari, Turmudzi & Ahmad dari An Nu'man bin Basyir ra).{}

Wednesday, December 26, 2012

Ternyata Kita (Masih) Suka Mainan

Mengutip sebuah iklan: menjadi tua itu pasti namun menjadi dewasa itu pilihan. Saat ini tidak hanya anak-anak yang suka bermain, namun banyak orang dewasa yang masih bersikap kekanak-kanakan. Banyak orang bertubuh besar masih suka bermain. Jika tidak bermain, paling tidak mereka menggandrungi orang yang sedang bermain.

Lihat  saja. Orang sekarang suka main hp, main gadget, main BB, main iphone, main ipad, main game (online), main facebook, main twitter, main bola, main musik, main film, dan main sinetron (silakan ditambah sendiri). Banyak juga yang suka nonton permainan bola, nonton pemain film, nonton pemain sinetron, nonton pemain musik, nonton lainnya (diteruskan ya).

Produk-produk di sekitar kita pun terkaitan dengan mainan ataupun pemain. Tengok saja, perangkat teknologi banyak mengandung kata mainan. Video player, music player, DVD player, dan beragam player lainnya. Bukankah kata player berasal dari kata play. Sedangkan salah satu arti kata play bermakna bermain. Kata-kata play dan main sudah meliputi kehidupan kita sehari-hari.

Jika menegok pada masa Kekasisaran Romawi, permainan di kala itu taruhannya nyawa. Sudah menjadi kesenangan di zaman itu orang-orang bersorak-sorak ketika melihat manusia diadu dengan singa. Atau juga manusia lawan manusia. Dan tak ada yang keluar permainan kecuali salah satunya pasti mati. Itulah permainan di arena gladiator.

Tidak di zaman dulu ataupun masa kini, semua permainan itu menghabiskan banyak biaya maupun tenaga. Untuk memproduksi sebuah tayangan televisi (siaran langsung) yang berdurasi dua jam pada prime time (pukul 18.00-21.00) membutuhkan dana setidaknya Rp 900 juta (sumber).

Kita akan tercengang kalau tahu berapa dana yang harus dikeluarkan Tv One & Antv untuk membeli hak siar Piala Dunia 2014 kelak. Dua stasiun televisi grup Bakrie itu harus menguras dana Rp 553,86 miliar! (sumber). Bandingkan dengan anggaran pendidikan APBD 2013 Provinsi Bengkulu yang hanya Rp 118 miliar (sumber).

Jangan tanya kalau biaya sebuah produksi sebuah film. Dalam sebuah kesempatan, Ukus Kuswara, Direktur Perfilman Nasional mengungkapkan bahwa biaya produksi sebuah film nasional bisa menyedot dana Rp 5-10 miliar (lihat).  

Jangan bandingkan dengan film Hollywood. Film Titanic yang selama 7 pekan bertengger di puncak box office pada saat peluncurannya menghabiskan dana 200 juta dollar Amerika. Kalikan saja 9 ribu untuk kurs rupiahnya. Dengan sutradara yang sama, Avatar telah menguras dana 237 juta dollar AS plus 9 juta dollar untuk peluncuran ulangnya. Silakan buka wikipedia kalau mau lihat data lengkapnya. Sebuah angka yang sangat fantastis.

Tidak hanya menyedot uang, bahkan mirip permainan gladiator, permainan masa modern pun masih menelan nyawa pula. Masih ingat kejadian tragedi konser Sheila on 7 beberapa tahun lalu yang menewaskan sejumlah ABG? Dan banyak konser musik lainnya yang juga merenggut nyawa penontonnya.  

Padahal semua itu hanyalah mainan saja. Kita seperti lalai bahwa banyak hal yang sangat jauh lebih penting dari semua itu. Dunia pendidikan yang butuh inovasi agar lebih efektif & memanusiakan manusia. Dakwah & syiar agama yang memerlukan pemaknaan kembali agar tidak sekadar ritual belaka. Sumber energi & bahan bakar yang semakin hari semakin menipis. Ekonomi yang masih beraroma riba & manipulatif.

Sektor pertanian yang tiap hari petani ketar-ketir gagal panen karena perubahan cuaca dan pemanasan global. Dunia kerja yang semakin sulit. Kemacetan lalu lintas dan transportasi yang kurang aman. Kerusakan lingkungan hingga menimbulkan bencana dimana-mana. Dan masih banyak lainnya.  

Pantas saja seorang Syekh Yusuf Qardawy khusus menulis sebuah buku tentang keadaan orang sekarang yang seperti tak tahu prioritas hidup. Judulnya Fiqih Prioritas atau Fiqih Aulawiyat terbitan Robbbani Press. Beliau menceritakan betapa lalainya manusia sampai jutaan orang sibuk memperbincangkan kaki dan betis. Maksudnya orang ramai-ramai menghabiskan waktunya untuk tentang gaji pemain sepak bola dan tingkah polah kaum selebritis.   

Manusia sering lalai dan sibuk bermain-main. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu...

...Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS. Al Hadid 20-21). 

Jika mentadabburi surat Al Qashshash, semestinya kita paham bahwa sesungguhnya fokus utama kita adalah akhirat, dan dunia itu hanya sisipan. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashshash 77).

Jadi Allah swt memerintahkan untuk all out meraih akhirat. Sedangkan untuk dunia, asal kita tidak terlantar, sebenarnya sudah cukup. Bukan sebaliknya. Sebab mementingkan kehidupan dunia merupakan sumber utama kerusakan diri & umat. Korupsi, riba, zina, pembunuhan, dll merupakan buah dari desakan hawa nafsu & kecintaan dunia yang berlebihan.

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32)  

Kita memohon kepada Allah swt. agar menetapkan hati kita untuk teguh di jalan hidayah bukan jalan mainan yang membawa pada kesesatan. Robbana la tuzigh quluubana ba'da idz hadaitana wa hablana milladunka rohmatan innaka antal wahhab 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (QS. Ali Imran 8). Amin.{}