Tuesday, February 15, 2011

Apakah Setiap Muslim Otomatis Menjadi Dai?


Apakah seorang muslim bisa menjadi? Mungkin iya mungkin tidak. Iya bagi mereka yang memang mempersiapkan diri untuk berdakwah. Tidak bagi mereka yang merasa tak mampu (atau mau) berdakwah tentang nilai-nilai Islam.


Bagi mereka yang apatis terhadap dakwah Islam, acap kali terdengar argumen ah saya ini kan tidak pandai soal agama atau saya kan belum baik atau juga itu sudah tugas para ustadz/kiai. Mungkin sekilas dalih seperti ini bisa diterima.


Namun argumen lain membantah dalih di atas. Dr. Achmad Satori Ismail, Ketua Umum Ikadi Pusat pernah menyatakan, ”Jika Anda seorang petani, tidak membuat sesaji saat panen itu sudah dakwah. Jika Anda tertib shalat berjamaah di kantor, itu sudah dakwah dan memberi teladan bagi orang lain. Pun ketika Anda berlaku sopan pada rekan lawan jenis dan menutup aurat dengan baik, itu juga dakwah.”




Jadi, menurut argumen ini menjadi dai tidak hanya hanya berdiri dan berceramah di mimbar saja. Itu hanya salah satu dari sekian banyak cara mendakwahkan Islam di tengah masyarakat. Memberi teladan pun termasuk cara seorang dai menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Istilah dakwahnya disebut dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan). Dan sering kali pengaruhnya lebih besar daripada kata atau ceramah. Ada ungkapan, ”Perbuatan lebih kuat menancap daripada ucapan.”


Dan juga tidak harus menunggu punya banyak ilmu. Sebab, tentu sampai akhir hayat pun ilmu kita tak akan pernah banyak. Karena ilmu Allah itu seluas samudera tak bertepi. Karenanya, Nabi saw. bersabda (artinya), ”Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” Jadi, apa yang kita tahu itulah yang kita sampaikan. Tidak harus banyak, yang penting tepat sasaran.


Menjadi juga tidak harus baik dahulu. Kalau menunggu bisa jadi shalih, tentu tidak ada orang sanggup berdakwah. Karena setiap orang pasti punya kelemahan. Adanya kekurangan tidak menghilangkan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Said bin Zubair pernah berkata, ”Kalau orang tidak mau amar makruf nahi munkar sampai dirinya tak ada sesuatu (yang tidak baik), niscaya tak akan ada seorang pun yang beramar makruf nahi munkar.”


Ada pula ulama yang terkenal keilmuan agama hingga ia punya banyak pengikut di masa silam. Suatu saat ia berkata di hadapan para muridnya, ”Seandainya kalian tahu bagaimana keadaan diriku di balik pintu ini (rumah), tentu kalian tidak akan mau mengikuti aku.” Maksudnya, meski ia terpandang dalam hal agama namun tetap saja ia punya kelemahan yang selalu ia tutupi di hadapan manusia. Hanya Allah-lah yang tahu aib seseorang.


Yang penting apa yang kita dakwahkan tidak melampaui batas kemampuan diri sambil terus membenahi diri. Dan yang terpenting adalah kita berkomitmen pada Islam dan berpartisipasi pada nilai-nilai kebenaran & kebaikan dimana saja berada.

Seorang rekan dosen politeknik di Surabaya, saya memangilnya Mas Firman Arifin. Dengan cerdik ia mengibaratkan manusia seperti magnet. Jika magnet bisa menarik dan juga mengarahkan logam, maka seharusnya manusia mampu berbuat yang sama. Jika medan magnet kecil, tentu radius daya tarik/dorongnya juga kecil. Begitu sebaliknya.


Jika kita merasa kapasitas diri kita kecil, ya gunakan saja daya tarik & dorong di lingkungan terdekat. Menyuruh anak shalat atau mengimbau anak putri & istri berbusana muslimah jika keluar rumah misalnya. Semakin besar kapasitas diri, semakin besar pula radius dakwahnya. Demikian seterusnya. Jangan sampai di radius terdekat saja kita enggan berdakwah.


Bisakah kita mempunyai daya magnet? Jawabannya, pasti bisa! Bagaimana caranya? Kalau mau membuat magnet, sebatang besi harus dialiri arus listrik atau menggeseknya dengan magnet permanen.


Kalau kita mau jadi ‘magnet’ bidang keilmuan misalnya, kita wajib mengaliri ‘arus’ ilmu yang kuat melalui banyak membaca buku atau ‘menggesekkan’ diri (baca: berguru) ke orang berilmu. Begitu tips dari Mas Firman.


Sebenarnya, sikap sinis terhadap berdakwah atau amar makruf nahi mungkar berdampak buruk di masyarakat, termasuk kita sendiri. Ibarat ada orang melubangi kapal untuk mengambil air di kapal yang juga kita naiki. Orang yang mengambil air kebetulan berada di dek bawah. Mereka malas harus naik untuk mengambil air. Ini lebih cepat, begitu pikir mereka. Jika kita tidak melarang mereka, tentu seluruh penumpang akan tenggelam termasuk kita. Demikian perumpamaan orang yang berdakwah. Selain mencegah kerusakan, berdakwah juga upaya menyelamatkan diri sendiri.


Ada tiga golongan manusia dalam menyikapi nilai atau norma kebenaran. Ada yang pro, kontra, dan ada pula apatis. Saya tidak mengatakan netral untuk kelompok terakhir ini. Sebab, netral itu cenderung apatis alias cuek.


Dengan indah, Allah swt. menggambarkan tiga kelompok ini dalam surat Al A’raf ayat 163-164, ”Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik” (QS. Al A’raf 163)


”Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, "Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? "Mereka menjawab, "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertakwa" (QS. Al A’raf 164). Yang pro proaktif memberi nasihat, yang kontra diwakili oleh mereka yang bandel mengambil ikan di hari sabtu, dan yang apatis hanya berkata sinis sambil meragukan nasihat kelompok pertama.


Lalu bagaimanakah keputusan Allah terhadap mereka? ”Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al A’raf 165). Di ayat ini tidak disebutkan nasib kelompok yang apatis. Wallahu a’lam bish shawab. Hanya Allah yang tahu.

Kini terserah kita, mau jadi kelompok yang mana?


*Catatan kecil dari hamba yang kecil & fakir ilallah

No comments: