Sunday, December 29, 2013

Kemana Karya Ulama Kita? oleh Abdul Kadir Baraja*

Sudah berapa lama Islam masuk Indonesia? Berapa banyak kerajaan Islam yang telah berdiri? Ada berapa organisasi Islam di negeri ini? Dan berapa jumlah pemuda kita yang sudah mendalami ilmu Islam di luar negeri? Tapi, mana karya ilmiah mereka yang berkelas dunia?


Berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo, ia pernah singgah di Perlak, Sumatera Utara pada tahun 1292. Di sana ia berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut Islam. Tidak ada catatan pasti tentang kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu pulau membuatnya sulit diidentifikasi. Yang jelas, dari berbagai sumber, kerajaan Islam pertama yang berdiri di Indonesia adalah Kerajaan Perlak pada 840 masehi.

Jika melakukan hitung-hitungan sederhana, berpedoman pada waktu awal berdirinya Kerajaan Perlak, berarti setidaknya sudah 1173 tahun atau 12 abad Islam berada di tanah air. Dari kurun waktu itu setidaknya sudah lebih dari 10 kerajaan Islam berdiri dari Sabang sampai Merauke. Dari Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Panjang, Mataram, Banten, Cirebon, Gowa Tallo, Ternate sampai Tidore.

Kerajaan-kerajaan itu tentu telah mewariskan culture dan people yang berlandaskan Islam. Dua poin tersebut adalah pemicu terbentuknya komunitas-komunitas masyarakat, yang lebih lanjut dimungkinkan bermetamorfosa menjadi organisasi Islam. Dari masa ke masa, telah berdiri ratusan organisasi Islam yang diisi deretan ulama. Saat ini saja tercatat ada 38 organisasi Islam besar di Nusantara. Dari sana sering lahir pemikiran dan tuntunan praktis yang dijalani pengikutnya.

Dari sana pula lahir ratusan ribu pondok pesantren dan sekolah Islam yang secara khusus mendalami ajaran Allah SWT. Islam memang selalu menarik. Islam selalu mengundang beribu tanya tentang keindahannya. Sehingga menarik jutaan pemuda Indonesia untuk mendalaminya di berbagai perguruan tinggi di pusatnya, Timur Tengah.

Sebagian dari mereka sudah ‘pulang kampung’ dengan membawa segudang ilmu. Tapi, apakah dari mereka sudah menelurkan karya-karya ilmiah berkelas dunia? Ukuran berkelas dunia yang dimaksud adalah karya-karya yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di penjuru dunia, karya keislaman yang mampu diterima dan dipakai bahan rujukan keilmuan di berbagai negara.

Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan untuk mereka yang pernah mendalami pendidikan di Timur Tengah, tapi juga untuk para ulama yang sudah malang melintang mengkaji hukum Islam. Urgensi lahirnya pertanyaan ini pun rasanya bukanlah hal yang terlalu dipaksakan. Sebab, jika menelisik historis keberadaan umat Islam di Nusantara yang telah dipaparkan di atas, rasanya sudah saatnya kita mempunyai karya ilmiah internasional.

Apalagi jika melihat populasi umat Islam Indonesia yang notabene terbesar di dunia atau sekitar 85 persen dari jumlah penduduk Indonesia sendiri. Ada harapan, tak hanya menjadi negara muslim terbesar, namun juga pusat peradaban dan ilmu Islam.

Sampai saat ini kita masih impor buku, impor karya. Artinya kita juga impor pemikiran dari ulama-ulama Timur Tengah. Ulama-ulama tersebut antara lain Imam Ghazali, Imam Bukhari, Yusuf Qardawi, Ibnu Hajar Al Asqalani dan masih banyak yang lain. Karya-karya mereka laku keras hingga diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.

Bukan bermaksud menghiraukan karya ulama kita. Tidak menutup mata, saat ini memang sudah banyak ulama, pengamat hukum Islam, kyai dan para penyandang guru besar Islam di Indonesia yang rajin menerbitkan buku dan karya ilmiah. Namun karya mereka hanya dinikmati masyarakat Indonesia (baca: lokal). Karya mereka hanya laku di kandang sendiri, tidak di pasar internasional.

Jika ingin mencermati apa penyebab nihilnya karya tersebut, sebenarnya bukan karena kondisi geografis Indonesia yang jauh dari negara-negara Timur Tengah. Kita juga tidak bisa beralasan jika latar belakang politik tidak mendukung dalam terciptanya karya ilmiah yang unggul. Buktinya, muslim di beberapa Negara pecahan Uni Soviet (Eropa Timur), yang kondisi politiknya belum stabil, ternyata sudah ada yang mampu membuat Syarah Bulughul Maram.

Dan yang terakhir, ada pula karya seorang ulama India dan Pakistan yang terkenal. Keduanya masih hidup. Ulama India tersebut membuat sirah terbaik di dunia. Sebetulnya kondisi negara mereka pun tidak lebih baik dari kita.

Saya rasa, kita mempunyai potensi dan peluang yang besar untuk menciptakan karya serupa. Tinggal bagaimana kita menanamkan keinginnan untuk membuat karya. Selain itu perlu diperhatikan pula bagaimana cara menggaet penerbit luar negeri agar mau mencetak karya kita. Sebab dalam dunia bisnis, penerbit tidak memandang dari mana ulama tersebut berasal. Asal karyanya dapat diterima pembaca, karya tersebut akan diperbanyak dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Negara yang bersangkutan.
Jadi, mari berkarya, mari mendunia.

*Abdul Kadir Baraja, Ketua Dewan Pengurus YDSF
(dimuat di majalah Al Falah YDSF Surabaya edisi April 2013)

No comments: