Thursday, January 10, 2013

Bila Masjid Tiba-tiba Hilang, Warga Sedih Atau Lega?

Sungguh suatu kemuliaan bagi siapa saja yang bersedia ikut andil dalam membangun atau mendirikan masjid. Apalagi sampai ikut aktif dan memakmurkannya dengan kegiatan. Namun, pernahkah kita berpikir, manfaat apa saja sih yang dirasakan masyarakat dari keberadaan masjid yang kita bangun dan yang kita kelola?

Pernahkah kita bayangkan, bila tiba-tiba masjid yang kita kelola lenyap begitu saja? Kira-kira warga sekitar masjid merasa kehilangan ataukah merasa lega? Tentu pertanyaan ini harus mampu kita jawab sebagai pendiri maupun pengurus masjid.


Apakah masyarakat terdekat masjid merasa lega ketika tiba-tiba masjid hilang tak berbekas?

Apakah mereka merasa bebas dari beban karena selama ini masjid terlalu banyak meminta?
Apakah mereka merasa plong karena sebagian kecil atau besar pengurusnya termasuk public enemy?
Apakah mereka tidak merasa apa-apa ketika masjid menghilang karena memang selama ini masjid tidak memberi manfaat apa-apa selain sekadar tempat shalat? Karena, masjid yang diwakili pengurusnya tidak tahu -atau tidak mau tahu- segala kesusahan dan kesulitan warga sekitarnya. Karena masjid tidak memberi kontribusi apa-apa -padahal mampu- ketika ada situasi antara hidup-mati ataupun situasi yang sangat menentukan masa depan umat?Apakah mereka merasa merdeka karena bebas dari ‘gangguan’ yang selama ini timbul dari masjid?

Ilustrasi seperti ini semakin menemukan pembenaran ketika kita lihat, baca atau dengar kas keuangan masjid -umumnya yang di perkotaan- mencapai puluhan juta rupiah. Bukankah pemberi infaq & shadaqah itu segera mendapat pahala karena dananya tersalur dengan penuh manfaat, bukan hanya ngendon di bank atau hanya memenuhi kaleng masjid selama berbulan atau bahkan bertahun?

Saya pernah tahu sebuah masjid di tengah kota Surabaya yang jelang khutbah Jumat pengurusnya mengumumkan kas masjid mencapai Rp 90 juta. Padahal ada beberapa rumah warga yang temboknya menempel di dekat ruang imam kondisinya benar-benar memprihatinkan. Pemukiman mereka agak kumuh dan bisa dipastikan penghidupan para penghuninya bisa dibilang sangat tidak layak.

Ada pula masjid masih satu kecamatan dengan masjid pertama tadi malah tak ada toilet khusus wanitanya. Padahal kas masjidnya mencapai Rp 60 juta. Kondisi toilet prianya pun tidak terlalu bagus. Kita harus sedikit membungkuk agar bisa masuk ke dalamnya. Terlalu sempit & rendah dimensi ruangnya.


Saya tidak menafikan masih banyak masjid yang keadaannya berbanding terbalik apa yangt terjadi pada kondisi di atas. Banyak pula masjid yang tentunya masih butuh dukungan masyarakat sekitarnya. Namun, eksistensi masjid-masjid kita perlu pembenahan serius dan repositioning.


Kita kuatir masjid yang dirikan dan kita kelola tidak punya manfaat yang benar-benar masuk ke ranah paling dalam dan paling pribadi di hati umat, khusunya yang membutuhkan uluran tangan. Apakah kebutuhan sekolah para santri TPQ, apakah kebutuhan modal usaha milik jamaah yang terjerat rentenir, apakah keperluan kuliah remaja/pemuda masjid, apakah biaya berobat warga yang sedang ditawari pengobatan gratis dari umat lain, bahkan mencarikan jodoh jamaah yang masih lajang, dll.

Apakah kita –para pengurus/takmir masjid- pernah atau bahkan sering keliling di kalangan warga sekitar dan mencari dengar apa saja kesulitan hidup mereka yang sekiranya masjid bisa bantu. Ya mirip sidak-nya Umar bin Khattab di malam hari ketika beliau jadi khalifah.

Atau tidak perlu sidak, namun membuka forum semacam klompencapir era Orba dulu. Teknisnya bisa pascakajian, kemudian dibuka sesi dengar pendapat atau curah saran yang menjadi kendala hidup jamaah. Mungkin tidak semua masalah segera teratasi oleh masjid & pengurusnya. Namun setidaknya umat atau jamaah punya tempat curhat. Bukankah dulu Rasul saw. selalu bertanya keadaan hari itu pada sahabat beliau satu per satu etelah shalat berjamaah di masjid. Terkadang para sahabat sendiri yang mengadukan masalah hidup mereka kepada Nabi saw ketika beliau masih di masjid.


Semua demi rajutan ukhuwah antara pengurus dan jamaah/warga yang dengan itu kita berharap Allah memberi perlindungan di padang mahsyar kelak. Hal ini telah Allah janjikan lewat lisan Rasul mulia, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:


(1)Pemimpin yang adil,
(2) Seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Rabbnya,
(3) Seorang yang hatinya selalu terikat/rindu kepada masjid,
(4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berkumpul dan berpisah karena Allah pula,
(5) Seorang lelaki yang di ajak zina oleh wanita yang kaya dan cantik tapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’,
(6) Seseorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinfaqkan oleh tangan kanannya, serta
(7) Seorang yang berzikir kepada Allah di kala sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (Shohih Bukhari, Hadits no 620).

Namun, untuk menggapai kemuliaan ini tentu harus ada ikhtiar serius yang harus kita lakukan. Kita –para pengurus- harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: untuk kepentingan siapa masjid dibangun? Ada atau tak ada masjid, apakah ada pengaruhnya bagi masyarakat? Kemanfaatan apa yang mestinya dirasakan umat terhadap masjidnya?{}

No comments: