Thursday, January 3, 2013

Memberdayakan Para 'Penghuni' Masjid


Malam itu saya mengantar istri ke kampus di Semolowaru Surabaya. Saya berangkat dari Jagir Sidosermo saat masih sayup-sayup terdengar suara azan tanda masuk waktu isya. Karena jalanan masih macet pascahujan lebat, saya pun sampai di masjid kampus sesaat setelah salam jamaah isya. Saya masuk masjid setelah mengantar istri hingga gerbang kampus.

Setibanya di masjis, saya pun bergegas ke ruang wudhu. Saya berharap masih ada satu dua jamaah yang ambil wudhu agar saya ada teman shalat berjamaah. Alhamdulillah, masih ada satu jamaah yang baru selesai wudhu dan kami pun shalat isya berjamaah.

Selesai shalat, saya bersantai di serambi bagian timur masjid. Masih ada satu jam lebih sebelum istri selesai kuliah. Saya sempatkan menyantap nasi goreng oleh-oleh dari rekan kerja istri sebelum berangkat ke kampus tadi. Sambil makan, saya lihat keadaan di serambi. Di tengah ada seorang bapak sedang rebahan. Tampaknya ia baru pulang kerja jika diperhatikan dari penampilannya dan motor yang ia parkir di dekatnya. Ia tidak mengenakan seragam. Hanya baju kemeja biasa.      

Lalu di dekat tembok serambi bagian selatan, ada dua bapak yang mengenakan peci dan sarung. Jika di lihat, jelas mereka bukan mahasiswa atau pegawai kantoran. Dan benar, mereka dua abang becak yang tiap malam tidur di masjid. Becak keduanya di parkir dekat mereka duduk meski agak jauh dari parkir motor saya. Saya yakin mereka baru saja ikut shalat berjamaah dan begitu keseharian mereka.

Potensi yang Tersiakan
Saya pun sengaja duduk dekat kedua abang becak itu. Awalnya saya menyalakan laptop sambil mengisi waktu sebelum istri selesai kuliah. Tapi rasa penasaran saya terus mengusik. Saya pun lalu menyela obrolan keduanya saat mereka sibuk mempermainkan ponselnya.

Saya tanya apakah betul mereka itu pemilik kedua becak yang sedang dipakir itu. Merekan pun menjawab sambil tetap sibuk memainkan ponselnya. Lalu saya saya tanya lagi apakah mereka tiap malam bermalam di masjid ataukah kebetulan mampir saja. Mereka mengaku tiap malam tidur di sana. Saya terus bertanya tentang mereka dan masjid, termasuk ada berapa kawan mereka yang bermalam di masjid. Hingga saya sampai pada pertanyaan apakah ada interaksi mereka dengan pengurus masjid.

Mereka menjawab bahwa tidak ada komunikasi atau interaksi khusus dengan takmir. Saya pun terus tanya apoakah mereka punya tugas khusus yang tetap dari pengurus masjid. Mereka menggelangkan kepala. Mereka cuma bilang ada kerja bakti (bersih-bersih) masjid tapi tidak tiap pekan. Mereka diminta bantu. Itu saja.

Kesimpulannya praktis,secara umum mereka tidak terlibat atau dilibatkan oleh pengurus dalam pengelolaan masjid. Termasuk saat penyembelihan qurban atau shalat jumat. Jangankan dalam urusan strategis, dalam urusan teknis dan detil pun mereka tidak dilibatkan ataupun diberdayakan. Sungguh amat disayangkan. Padahal rata-rata pengurus masjidnya adalah dosen dan pemuda masjidnya para mahasiswa. Tentu saja kadar intelektual mereka lebih mumpuni ketimbang abang becak tadi. Saya yakin sebenarnya pengurus mampu memberdayakan para penghuni masjid itu.

Menurut saya inilah salah satu titik kelemahan kebijakan pengelolaan masjid. Sangat jarang sekali masjid -dalam hal ini para pengurusnya- mau apalagi mampu memberdayakan sekaligus warga sekitar masjid. Seolah-olah ada jurang pemisah yang lebar. Masjid ya masjid, warga ya warga. Masjid hanya untuk ritual saja, shalat dan ceramah saja. Sedikit sekali ada pelibatan stakeholder atau setiap orang/pihak yang berkepentingan dengan masjid.    

Seandainya saja mereka diberi tugas khusus, tentu mereka akan merasa sangat senang. Saya membayangkan mereka diberi tugas menjaga keamanan dan kebersihan masjid, khususnya di malam hari. Saya yakin mereka akan bersedia. Mereka mengaku siap saat saya tantang. Toh, mereka juga mendapat manfaat dari masjid. Mereka mengaku cukup bersyukur bisa tidur malam hari di sana. Gratis lagi.

Dengan populasi yang mencapai 10 lebih, tentu akan lebih ringan tugas jaga. Kan bisa dengan cara shift atau gantian tiap beberapa jamnya. Dan ternyata memang kejadian kehilangan masih sering terjadi di sana. Demikian menurut pengakuan mereka, misalnya motor, dompet, tas, dll.

Banyak Jalan Menuju Iman
Pengurus yang bijak dan jeli akan mempertimbangkan pola interaksi yang lebih humanis. Tidak hanya dipersilakan istirahat dan fasilitas MCK secara cuma-cuma, namun juga mereka diberi insentif bila mereka mau ikut menjaga keamanan sekaligus kebersihan masjid. Saya yakin mereka akan semakin cinta dengan masjid. Ajak mereka kajian agar menambah pemahaman agama mereka.

Mengapa cinta? Bukankah masjid sudah menjadi rumahnya sendiri? Mereka tidur, mandi, cuci, dan parkir becaknya di sana. Artinya hampir seluruh waktu hidupnya berada di masjid dan aset hidupnya juga ia bawa serta, kecuali saat bekerja saja. Bukankah ini salah satu ciri dari tujuh golongan yang dilindungi Allah di hari kiamat kelak, yaitu orang yang hatinya terikat di masjid.

Pola pemberdayaan seperti ini bisa dilakukan tidak hanya penghuni malam seperti mereka saja. Warga yang mencari penghidupan di dekat masjid juga harus diikat dengan nilai dakwah & sosial ala masjid. Misalnya para pedagang kaki lima (PKL) atau warga yang temboknya menempel ke masjid. Mereka berhak mendapat kemanfaatan masjid. Pengurus harus mampu merumuskan pola pemberdayaan seperti apa yang pas. Karena tiap lokasi bisa berbeda penanganan.

Misalnya para PKL itu diberi ruang berjualan secara gratis dengan syarat mereka ikut menjaga kebersihan dan keamanan masjid. Bila perlu, beri mereka tambahan modal dari dana zakat, infaq shadaqah dari jamaah masjid. Beri pinjaman lunak tanpa bunga (qardul hasan) atau jika via koperasi/BMT bentukan masjid. Agar tak ada kesempatan kaum rentenir menjerat mereka. Dan tentu saja ini akan membuat hati mereka makin cinta dengan masjid. Karena tidak semua orang mampu mempertebal imannya hanya dengan ceramah atau nasihat saja.

Silakan perhatikan sikap Nabi saw. terhadap kaum tulaqo atau orang-orang Mekah yang baru memeluk Islam pascaperang Hunain. Tentu kita akan paham mengapa perlakuan Rasul saw. terhadap mereka sangatlah berbeda terhadap mereka ketimbang kaum Anshar. Oleh karena itu, para pengurus harus punya analisis sosial yang tajam demi pembinaan umat yang lebih humanis.{}

No comments: