Friday, January 10, 2014

Dr. Syafii Antonio: Karena Kita Mengidap ’Rabun Dekat’

Krisis terdahsyat yang kita alami adalah krisis keteladanan. Hampir di semua lini kehidupan kita sangat sulit menemukan sosok yang bisa kita jadikan panutan. Padahal kita punya teladan terbaik, Muhammad saw. Kalau begitu, apanya yang salah? Mungkinkah kita mencontoh perikehidupan nabi akhir zaman itu? Berikut petikan diskusi dengan pakar manajemen Dr. H. M. Syafii Antonio, M.Ec saat menghadiri Milad YDSF beberapa waktu lalu:


Mengapa kita mengalami krisis keteladanan?
Karena kita telah ’membelenggu’ Rasulullah Muhammad saw. dengan rantai besi di masjid dan mushalla saja. Selama ini, apa yang terjadi di pasar modal kita, di pasar uang kita, asuransi kita, perbankan kita ataupun bisnis kita sehari-hari tidak ada hubungan dengan Nabi saw. Nothing to do with Rasul. Jadi, kita ‘ikat’ Nabi di masjid saja.

Kita shalat di masjid sekitar 10 menit. Jika dikalikan lima, paling banter kita di masjid atau mushalla kurang lebih 1 jam. Sedangkan, aktivitas bisnis kita antara 8-10 jam per hari. Bahkan di kota-kota metropolitan bisa 15 jam.

Sepanjang itu, aktivitas kita yang meliputi marketing, periklanan, riset, ekspor, impor ataupun proses tender minim sekali uswatun hasanah Rasul terlibat.

Dalam buku Muhammad saw: The Super Leader, Super Manager, saya mendeskripsikan peran Rasul saw. menjadi 8 aspek: self development (pengembangan diri), pemimpin bisnis, pemimpin keluarga harmonis, pemimpin dakwah, pemimpin sosial-politik, pemimpin pendidikan holistik, pemimpin hukum, dan pemimpin militer.

Apa akibatnya?

Terjadilah paradoks dalam negeri ini.
- Negeri ini kaya akan sumber alam tapi masyarakatnya miskin.
- Indonesia negara muslim terbesar di dunia tapi inna lillahi korupsinya termasuk tertinggi di dunia.
- Kita punya banyak pondok pesantren tapi pornografi ada dimana-mana.
- Tanah negeri ini subur tapi banyak yang kelaparan.
- Banyak pengajian dan majelis taklim, tapi disiplinnya amburadul.




Bukan hanya umat Islam membutuhkan Islam dan suri teladan Rasul saw. Tapi dunia ini berhajat kepada uswah hasanah. Anak muda membutuhkan satu sosok yang tangguh dan bermotivasi tinggi untuk menghadapi segala kesulitan hidup.

Rumah tangga membutuhkan figur suami dan ayah teladan yang penuh perhatian. Dunia usaha juga kini memerlukan entrepreneur yang bisa sukses tanpa harus bertumpu pada modal dan uang.

Dunia pendidikan membutuhkan figur pendidik yang ngemong dan memperlakukan siswa sebagai organisme yang tumbuh dan perlu diperhatikan dari waktu ke waktu.

Panggung politik merindukan pemimpin yang memiliki visi, kompetensi, dan penuh semangat untuk memajukan bangsanya. Banyak anak bangsa yang tidak tahu menjadi apa Indonesia 5 atau 10 tahun mendatang.

Apa penyebab kita gagal meneladani Nabi saw?

Kita terkena penyakit ’rabun dekat.’ Kita tidak mampu melihat perjalanan hidup Nabi saw. secara utuh. Banyak di antara kita yang rutin membaca shalawat-shalawat panjang, Diba‘, & Barzanzi.

Tetapi, semua itu kita kumandangkan di masjid, madrasah, dan rumah-rumah saja. Saat kita kembali ke kantor ternyata nilai-nilai akhlak dan keluhuran budi seperti dalam shalawat-shalawat itu tidak ada di kantor kita.

Nyaris tidak ada sepotong hadits pun dalam manual atau Standard Operating Procedure (SOP) perusahaan kita. Walhasil, shalawat rutin dibaca, tapi perusahaan kita makin jauh dari teladan Nabi saw. Bahkan mungkin semakin dekat budaya Yahudi dan kapitalistik. Profit lebih utama daripada akhlak dan syariah.

Mungkinkah kita meniru akhlak Nabi saw?

Untuk bisa menjadi suami teladan, tidak harus dapat wahyu dulu. Nabi saw. biasa membukakan pintu rumah atau kendaaran (tunggangan) untuk para istrinya, makan sepiring berdua, membawa barangnya sendiri, membersihkan rumah, menjahit pakaian, bermain dengan cucu, mengunjungi putri serta menantunya, dll.

Jadi business man berakhlak mulia dan sukses tidak harus jadi nabi dulu. Nabi saw. memulai berdagang tanpa modal secuil pun. Beliau memulai usaha dengan bekal kejujuran, kepercayaan, sikap ramah, murah senyum, sabar, tepat janji serta pemahaman yang luas terhadap kebutuhan konsumennya.

Jadi guru yang jujur, berilmu, dan bijaksana tidak harus jadi rasul dulu. Nabi saw. adalah guru yang jujur, ikhlas, walk the talk (mengamalkan yang dikatakan), adil, berjiwa humor & simpatik, tawadhu, menjaga lisan, dan sabar.

Kesalahan kita adalah sering kita memosisikan Nabi saw. terlalu melangit. Tinggi dan jauh hingga mendekati dewa atau anak dewa. Akibatnya, beliau menjadi ’asing’ yang tidak mungkin bisa ditiru.
Sabda beliau, ”Janganlah kalian terlalu mengagung-agungkan aku seperti halnya orang Nasrani mendewakan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku ini manusia biasa putra wanita Mekkah yang makan daging yang dikeringkan (lauk sederhana). Panggillah aku Rasulullah dan hamba Allah” (HR. Bukhari).

Beliau dilahirkan dari ayah & ibu yang jelas. Beliau juga menikah, bisa terluka, dan punya perasaan seperti kita ini. Perbedaan satu-satunya adalah beliau diamanahi wahyu dan mendapat bimbingan dari Allah bila ada tindakan yang tidak tepat menurut Allah. Selebihnya, Muhammad saw. adalah manusia dan hamba Allah sebagaimana kita semua.

1 comment:

Unknown said...

subhaanalloh...
MUHASABAH di HAri Maulidin Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam...