Saturday, July 8, 2017

Mengenang KH. Muammal Hamidy | Pernah Mengenyam Pendidikan di Lima Ormas Islam

(KH. Muammal Hamidy,  1 September 1940- 14 April 2015)  
Ustadz Muammal Hamidy adalah Pimpinan Pesantren Tinggi Ilmu Fiqih dan Dakwah Ma'had Ali, Bangil, Kabupaten Pasuruan. Almarhum dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Jawa Timur.


Muammal Hamidy terlahir di Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan pada 1 September 1940. Mental dan sikap keagamaannya terbentuk dari lingkungan keluarganya yang santri.




Muammal kecil menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar ngaji di langgar. Sejak menginjak usia SD, bersama bocah-bocah desa lainnya, Muammal sudah mulai tidur di langgar. Hanya ketika bulan puasa, saya pulang untuk sahur. Setelahnya, ya kembali lagi ke langgar, ujarnya. Dengan membaca oncor, Muammal meniti jalan setapak desa yang gulita itu.

Waktu itu, langgar adalah pusat kegiatan bocah-bocah di kampungnya. Selain aktif belajar di Langgar Kyai Basyarun, dia juga aktif di Langgar Kyai Khudlori. Ngaji, belajar ilmu umum, mandi, dan tidur pun di langgar, terangnya. Kalau tidak mengaji di langgar, saya pasti dipukul orangtua, tambahnya.

Karena tiap hari hidup di langgar, maka wajib baginya untuk ikut merawat. Kami semua mendapat giliran jadwal mengisi bak mandi, tutur putra pasangan H. Munawar dan Mariyah ini. Muammal juga bersekolah di SR (Sekolah Rakyat). Ketika terjadi Agresi Militer Belanda kedua di akhir 1948, sekolahnya terhenti.



Seusai perang, Muammal pindah ke MI yang baru berdiri. Muammal Hamidy pun mulai mengenal dan belajar ilmu alat (nahwu dan shorof). Juga balaghah, fiqh dan muntakhobat (kata mutiara). Di usia ini, Muammal pun mulai belajar pola Kemuhammadiyahan dari pamannya, Mahfudz Ihsan, pendiri Muhammadiyah di Lamongan. Karena itu, Hadits Arbain Nawawi wajib dihafalkannya.


Setamat MI, 1955, anak kedelapan dari sepuluh bersaudara ini meneruskan studi agamanya ke MTs Tebuireng sambil nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Dengan hanya berbekal 3 lembar pakaian dan 2 sarung yang dia bawa dalam tumbu yang terbuat dari daun lontar, ia berangkat mondok. Karena minim baju ganti, saya kadang hanya mencuci kerahnya saja, ujarnya sambil tersenyum.


Untuk mengirit biaya, Muammal Hamidy memasak sendiri. Dia pun membawa cobek dari rumah dan berbekal banyak ikan asin. Tapi ikan asinnya tidak digoreng pakai minyak, tapi dibakar pakai lampu teplok, terangnya. Wadah makan saya, ya cobek itu, tambahnya. Bahkan untuk lebih mengirit, dirinya harus makan dengan banyak minum air putih. Jadi kenyang air, bukan nasi, selorohnya diiringi tawa.


Selama tiga tahun di Tebuireng, Muammal belajar kitab Tafsir Jalalain kepada Kyai Adlan Cukir. Bersama Kyai Bisri Sansuri, dirinya mendalami kitab Kifayatul Akhyar, Fathul Muin, maupun Fathul Wahab. Khusus kitab Alfiah yang mempelajari ilmu Nahwu, dirinya berguru kepada Kyai Tahmid Brebes.


Sepulang mondok dari Tebuireng, Muammal mendapati majalah Al-Muslimun tergeletak di meja tamu. Kakak ketiga saya yang langganan, karena dia aktif di GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yang merupakan underbow Masyumi, terangnya.


Di majalah tersebut, Muammal melihat ada berita dan gambar tentang lulusan pesantren PERSIS Bangil yang dikirim ke Mesir. Saya pun langsung tertarik dan sangat ingin pergi ke Mesir, tukasnya. Waktu itu, pembelajaran di Pesantren PERSIS sudah berjalan setahun. Pesantren PERSIS hanya membuka penerimaan angkatan santri tiap lima tahun sekali, ujar suami Zainab itu.


Tak patah arang, kakaknya melakukan pendekatan dengan pengurus GPII Bangil. Setelah melihat latar belakang pendidikan Muammal yang jebolan Pesantren Tebuireng dan kemampuannya dalam membaca kitab kuning, Pemimpin Pesantren PERSIS waktu itu, Ustadz Abdul Kadir Hasan (A. Hasan) pun bersedia menerima Muammal. Saya langsung masuk kelas 2, kata ayah empat anak ini.


Di Pesantren PERSIS, Muammal Hamidy juga bergabung di organisasi P3P (Persatuan Pelajar Pesantren PERSIS) dan pernah menjadi ketuanya. Sebagai Ketua P3P, dirinya pun banyak menjalin komunikasi dan semakin akrab dengan pemimpin pesantren. Seusai merampungkan studinya di Pesantren PERSIS, Muammal langsung ditunjuk untuk mengajar di pesantren putra pada 1963.


Setahun berselang, Muammal mempersunting gadis asal Bangil, Zainab. Setelah menikah, dia diperbolehkan mengajar di Pesantren Putri. Di Pesantren ini, ustadz yang belum menikah dilarang mengajar di pesantren putri, terangnya. Muammal semakin mendapat kepercayaan dari pemimpin pesantren dan diangkat sebagai Sekretaris pesantren.


Pada 1968, M. Natsir, tokoh Masyumi yang baru dibebaskan dari penjara, diundang oleh Raja Faishol, penguasa Kerajaan Saudi waktu itu. Dalam pertemuan itu, Raja Faishol bertanya kepada M. Natsir tentang apa keinginannya. Saat itu Pak Natsir tidak minta kekuasaan atau jabatan. Juga tidak menginginkan kekayaan. Beliau hanya meminta agar ada pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa ke Saudi, ujarnya penuh takjub.


Permintaan itu pun dikabulkan. Muammal menjadi salah satu dari delapan pelajar yang mendapat beasiswa dan ditempatkan di Al-Jamiah Al-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawarah (Islamic University Madinah). Muammal lulus pada 1972 dan berkesempatan melanjutkan studi ke Mesir. Tapi Pak Natsir tidak memperbolehkan dan saya harus kembali untuk mengajar ngaji di PERSIS, tuturnya.


Pada 1984, M. Natsir menggagas berdirinya Pesantren Tinggi yang mencetak kader ulama fiqh. Gagasan itu muncul, karena setelah Buya Hamka, Kyai Munawar Kholil Semarang dan Kyai Imam Ghozali Solo meninggal, belum ada penggantinya, terangnya. Selain itu, Pak Natsir sangat prihatin karena banyak kyai yang mulai meninggalkan desanya dan masuk ke ranah politik, tambahnya.


Maka di tahun itu pula, di Masjid Manarul Islam Bangil, didirikanlah Pesantren Tinggi yang lantas dikenal dengan sebutan Al-Mahad Aly Lil Fiqh Wa Al-Dakwah di kota yang sama. Dengan menanamkan ruhul ijtihad dan ruhul jihad, diharapkan akan melahirkan kader ulama fiqih yang mumpuni untuk menyelesaikan persoalan di masa depan, ujarnya. Muammal Hamidy pun ditunjuk menjadi pemimpin (Mudir Mahad Aly) hingga wafatnya. Saya terima amanat itu sebagai balas jasa, terangnya.


Kedekatannya dengan M. Natsir ternyata berbuntut panjang. Sebab sejak keakraban di antara mereka terjalin, Muammal tak jarang dikait-kaitkan dengan kelompok Islam garis keras yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Bangil pun lantas dianggap sebagai pusat pemerintahan Negara Islam Indonesia (NII).


Kakek sepuluh cucu ini beberapa kali sempat diperiksa, meski akhirnya dilepaskan. Hanya karena saya menjenguk paman yang juga dituduh terlibat, saya ditangkap. Semua tuduhan yang dialamatkan kepada saya maupun paman adalah tidak benar, ujarnya.


Maka untuk menetralisir anggapan tersebut, oleh KH. M. Misbach Ketua MUI Jatim saat itu, Muammal Hamidy lantas dimasukkan dalam jajaran mubaligh di Masjid Al-Falah Surabaya pada 1985. Sejak saat itulah, Ustadz Muammal mulai mengisi ceramah di instansi pemerintah maupun lembaga perusahaan. Meski demikian, hal itu sepertinya belum cukup bagi Muammal untuk melepaskan diri dari frame Islam garis keras yang dialamatkan kepadanya.


Sebab suatu ketika, dia bertemu seorang jamaah yang berasal dari perusahaan Freeport Papua. Tertarik dengan ulasan ustadz Muammal, ia pun mengundangnya untuk mengisi pengajian di perusahaan Freeport Papua. Tak disangka, Muammal kena cekal disana. Saya dilarang berceramah, hanya karena saya dari Bangil, tukasnya heran. Namun berkat rekomendasi Takmir Masjid Al-Falah Surabaya waktu itu, Mayor Jendral Polisi H. Samsuri Mertojoso yang juga seorang Kepala Polda Jatim, Muammal akhirnya diperbolehkan berceramah.


Tak hanya berhenti sampai di situ dirinya berurusan dengan aparat. Sebab Ustadz Muammal pun sempat dipanggil lagi oleh aparat karena terlalu keras memrotes SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saat itu saya bilang. Anda tahu judi itu haram dan itu berarti neraka. Anda mau masuk neraka, ujarnya kepada aparat dengan nada tanya. Saya pun dilepaskan, karena mereka memang tahu itu haram dan tak mau masuk neraka, seloroh Konsultan Keluarga Sakinah Masjid Al-Falah Surabaya ini.


Muammal Hamidy mengaku bersyukur bisa tumbuh dan belajar dalam lintas kelompok agama yang berbeda. Belajar Kemuhammadiyahan di saat kecil, NU di usia remaja, PERSIS saat menginjak dewasa dan Salafi ketika belajar di Madinah. Meskipun pada akhirnya alur pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, dirinya sangat menghormati perbedaan pendapat antar madzhab.


Saya melihat, perpecahan di antara umat Islam yang semakin parah ini, hanya karena masalah furuiyah yang difanatiki, ujar mantan Pengurus Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini prihatin. Maka untuk mengurangi ketegangan itu, dia menyarankan agar umat Islam lebih banyak belajar dan mendalami lagi tentang Muqarranah Fiqhiyah (Perbandingan Madzhab).


Di Mahad Aly Bangil, dia pun mengajari para santri kitab Al-Fiqhul Muqarin (Fiqh Perbandingan). Ustadz Muammal juga mengajarkan kitab Maa laa yajuuzu fiihi al-Ikhtilaf Baina al-Muslimin (Sesuatu yang tidak boleh dipertentangkan) yang dikarang oleh Abdul Jalil Isa, seorang pengajar dari Al-Azhar Kairo.



Kita perlu mempelajari sabab ikhtilaf, agar tidak terlalu fanatik, tukasnya. Beda ya beda, tapi jangan terlalu dipertentangkan. Perbedaan fiqh masih bisa dikompromikan, tandas mantan Pimpinan Majelis Tarjih PWM Jatim itu. (diolah dari joss.today)

No comments: