Saturday, July 8, 2017

Ugi Suharto (Dosen Ahlia University, Bahrain) | “Jangan Remehkan Potensi Muslim, Walau Hanya Nama”

Setiap jengkal bumi Islam dan setiap potensi yang ada dalam diri setiap muslim harus mampu dimanfaatkan. Itulah pesan Dr. Ugi Suharto, pakar peradaban & pemikiran Islam. Ini ia sampaikan dalam diskusi yang dihelat Institut Pemikiran & Peradaban Islam Surabaya (INPAS) dan Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur pada Syawal 1434 H lalu di Surabaya.

Kedatangannya ini bersamaam mudik lebaran. Saat ini, Ugi menetap di luar negeri. Ia mengajar Ahlia University, Bahrain sebagai associate professor serta International Islamic University Malaysia (IIUM).


Meski punya spesialisasi ekonomi syariah, Ugi juga dikenal sebagai dosen lintas sektoral. Ia sering menjadi narasumber diskusi peradaban & pemikiran. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis, Jerman, Persia dan juga sedang mempelajari bahasa Latin kuno.
 
Ia mengingatkan para dai bahwa seorang muslim yang hanya menyisakan nama pun masih menyimpan potensi. Walaupun dia telah banyak meninggalkan syiar Islam, tetap saja seorang muslim masih punya potensi membangun Islam, ungkap pria yang menempuh S1 hingga S3 di IIUM ini.


Kita harus mengaca pada sejarah. Ketika konflik bersenjata meletus di Yugoslavia pada 1992, milisi kristen radikal Serbia mengincar etnis Bosnia. Kebencian orang Serbia mengakar akibat dendam masa lalu, ucapnya memulai cerita. 

Mulailah milisi bersenjata ini memburu orang Bosnia yang notabene muslim. Sebenarnya tak lagi mudah menemukan kultur Islam di Bosnia. Selama berpuluh tahun wilayah Yugoslavia diwarnai komunisme. Peradaban Islam nyaris punah. Peninggalan zaman Kekhilafahan Turki Ustmaniyah mulai pudar di sana. 

Bahkan Islam hanya tinggal nama. Ya hanya nama. Milisi radikal Serbia membantai orang Bosnia dengan mengenali nama mereka, jelas Ugi. Maka terjadilah pembantaian yang memilukan itu. Sejak tragedi itu, orang Islam di Bosnia tersadar. Nama mereka menyimpan potensi sekaligus mengungkap musuh mereka. Dengan itu mereka bangkit dan kembali membangun.

Dari sini kita ambil pelajaran, papar Ugi, sudah bukan saatnya lagi kita mengambil sikap berhadap-hadapan. Islam itu rumah besar. Jangan gampang mengusir penghuninya. Acap kali kita mudah menyalahkan saudara serumah, beber pria kelahiran Ciamis, 27 Februari 1966 ini.

Biarkan masing-masing orang atau elemen umat bekerja dengan kafaah (kemampuannya). Kita kedepankan husnudzon (prasangka baik). Tidak perlu mencemooh kinerja kelompok lain. Semua berproses dengan ciri khasnya. Yang penting landasan ilmunya dan berpegang pada Dinul Islam yang syamil, tandas alumnus SMAN 8 Bukit Duri Jakarta ini.

Ada saudara kita yang masuk sektor ekonomi, pendidikan, dsb. Bahkan ada juga yang sudah masuk ke ranah politik dan negara. Tidak perlu menuduh yang macam-macam. Beri kesempatan mereka menunjukkan kontribusinya bagi peradaban Islam, tegasnya.     

Menurut riset terbaru, ulas Ugi, Islam merupakan agama yang berkembang paling pesat khususnya di Eropa. Kurang tepat kalau dibilang peradaban Islam itu belum ada. Komponennya sudah ada kok, imbuh pria yang sempat belajar di Madrasah Tsanawiyah Al Waqfiyah Bukit Duri, Jakarta Selatan.

Tugas kita harus merancang dan bekerja. Kita hanya bisa menanam. Lihatlah petani, siapakah yang sering menjaga tanaman? Petani ataukah Allah? Petani hanya menanam, setelah itu pulang lalu tidur. Selebihnya Allah yang menumbuhkannya. Kerja keumatan ini hanyalah ikhtiar. Kita tak tahu seberapa banyak buah peradaban Islam nantinya. Mungkin anak cucu kita nanti yang menikmatinya, pungkasnya.(naskah|foto oki aryono).


No comments: