Setiap jengkal bumi Islam dan
setiap potensi yang ada dalam diri setiap muslim harus mampu dimanfaatkan.
Itulah pesan Dr. Ugi Suharto, pakar peradaban & pemikiran Islam. Ini ia
sampaikan dalam diskusi yang dihelat Institut Pemikiran & Peradaban Islam
Surabaya (INPAS) dan Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
Jawa Timur pada Syawal 1434 H lalu di Surabaya.
Kedatangannya ini bersamaam mudik
lebaran. Saat ini, Ugi menetap di luar negeri. Ia mengajar Ahlia University,
Bahrain sebagai associate professor serta
International Islamic University Malaysia (IIUM).
Meski punya spesialisasi ekonomi
syariah, Ugi juga dikenal sebagai dosen lintas sektoral. Ia sering menjadi
narasumber diskusi peradaban & pemikiran. Ia menguasai bahasa Arab,
Inggris, Perancis, Jerman, Persia dan juga sedang mempelajari bahasa Latin
kuno.
Ia mengingatkan para dai bahwa
seorang muslim yang hanya menyisakan nama pun masih menyimpan potensi. “Walaupun dia telah banyak
meninggalkan syiar Islam, tetap saja seorang muslim masih punya potensi
membangun Islam,” ungkap pria yang
menempuh S1 hingga S3 di IIUM ini.
Kita harus mengaca pada sejarah. “Ketika konflik bersenjata meletus
di Yugoslavia pada 1992, milisi kristen radikal Serbia mengincar etnis Bosnia.
Kebencian orang Serbia mengakar akibat dendam masa lalu,” ucapnya memulai cerita.
Mulailah milisi bersenjata ini
memburu orang Bosnia yang notabene muslim. Sebenarnya tak lagi mudah menemukan
kultur Islam di Bosnia. Selama berpuluh tahun wilayah Yugoslavia diwarnai
komunisme. Peradaban Islam nyaris punah. Peninggalan zaman Kekhilafahan Turki
Ustmaniyah mulai pudar di sana.
“Bahkan Islam
hanya tinggal nama. Ya hanya nama. Milisi radikal Serbia membantai orang Bosnia
dengan mengenali nama mereka,” jelas Ugi. Maka
terjadilah pembantaian yang memilukan itu. Sejak tragedi itu, orang Islam di
Bosnia tersadar. Nama mereka menyimpan potensi sekaligus mengungkap musuh
mereka. Dengan itu mereka bangkit dan kembali membangun.
Dari sini kita ambil pelajaran,
papar Ugi, sudah bukan saatnya lagi kita mengambil sikap berhadap-hadapan. “Islam itu rumah besar. Jangan
gampang mengusir penghuninya. Acap kali kita mudah menyalahkan saudara serumah,” beber pria kelahiran Ciamis, 27
Februari 1966 ini.
Biarkan masing-masing orang atau
elemen umat bekerja dengan kafaah (kemampuannya). Kita kedepankan husnudzon (prasangka baik). “Tidak perlu mencemooh kinerja
kelompok lain. Semua berproses dengan ciri khasnya. Yang penting landasan
ilmunya dan berpegang pada Dinul Islam yang syamil,” tandas alumnus SMAN 8 Bukit Duri
Jakarta ini.
Ada saudara kita yang masuk sektor
ekonomi, pendidikan, dsb. “Bahkan ada juga
yang sudah masuk ke ranah politik dan negara. Tidak perlu menuduh yang
macam-macam. Beri kesempatan mereka menunjukkan kontribusinya bagi peradaban Islam,” tegasnya.
Menurut riset terbaru, ulas Ugi,
Islam merupakan agama yang berkembang paling pesat khususnya di Eropa. “Kurang tepat kalau dibilang
peradaban Islam itu belum ada. Komponennya sudah ada kok,” imbuh pria yang
sempat belajar di Madrasah Tsanawiyah Al Waqfiyah Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Tugas kita harus merancang dan
bekerja. “Kita hanya bisa menanam. Lihatlah
petani, siapakah yang sering menjaga tanaman? Petani ataukah Allah? Petani
hanya menanam, setelah itu pulang lalu tidur. Selebihnya Allah yang
menumbuhkannya. Kerja keumatan ini hanyalah ikhtiar. Kita tak tahu seberapa
banyak buah peradaban Islam nantinya. Mungkin anak cucu kita nanti yang
menikmatinya,”
pungkasnya.(naskah|foto oki aryono).
No comments:
Post a Comment