Saturday, July 8, 2017

Visi Fadlan Rabbani Garamatan, Siapkan Kado HUT RI ke-100 dengan Generasi Qurani

“Kami tidak mengutus engkau melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” Inilah tujuan bagi dakwah Islam. Itu pula yang diyakini Fadzlan Rabbani Garamatan, seorang dai asal tanah Papua. Di internet, nama Fadzlan Garamatan identik dengan sebutan ustadz sabun mandi.


Ia bercerita asal mula sebutan itu saat tim YDSF berkunjung ke Ponpes Nuu Waar yang ia pimpin di kawasan Setu, Bekasi pada akhir Desember lalu. “Kita harus berdakwah sesuai keadaan setempat. Kondisi alam di Irian memang begitu. Orang pedalaman butuh waktu 10 hari dari pedalaman ke kota terdekat. Maka, pakaian adalah hal yang langka di sana saat itu,” ucap Fadzlan ketika mengenang awal dakwah pada era 1980an.

Selain itu, Fadzlan mengungkapkan bahwa pihak misionaris menanamkan pemahaman bahwa koteka itu pakaian kebudayaan yang mahal harganya. “Ada upaya-upaya agar masyarakat Irian tetap bodoh, miskin dan tertinggal. Tujuannya agar potensi alam di sana bisa terus mereka kuasai,” tegasnya.




“Islam ‘kan tidak mengajarkan demikian. Kami berupaya dekat dengan mereka. Kami bermain sehari-hari dengan mereka. Di awal-awal, kami tidak bicara Islam tapi bicara kebersihan. Walaupun Islam juga membahas kebersihan atau thaharah. Maka mandi adalah pintu masuk dakwah di Irian,” sambungnya.
Fadzlan mengaku lebih suka menggunakan istilah Irian Jaya atau Nuu Waar. “Karena pandahulu kami telah memberi nama yang baik ini. IRIAN punya arti Ikut Republik Indonesia Anti Netherland Pasti Jaya. Saya termasuk yang protes penggantian nama Papua. Sebab ini akan menjauhkan kami dengan saudara kami di Indonesia dan mengkhianati para pendiri,” ungkap pendiri sekaligus Presiden Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) ini.

Kenangan paling berkesan bagi Fadzlan adalah ketika ia masuk ke pedalaman Irian untuk mengajari mandi dan kebersihan bagi kepala suku. “Sebelum itu, mereka hanya mandi dengan lemak babi sebagai  bahannnya. Mereka juga biasa minum-minuman keras. Sering mereka mabuk hingga tidur di jalanan dan bahkan tidur di kandang babi. Ini pertama kali yang kami ubah,” jelasnya.

Ia ajak kepala suku mandi lalu samponya dituang ke kepala dan terasa aroma harum. Lantas ia tak mau membilasnya dengan air sungai. Ketika diminta untuk membilas, dia menyahut, “Tidak, ini wangi.” Ternyata bapak kepala suku terkesan dengan aroma harum sampo hingga enggan membilasnya. Dia merasakan perbedaan yang jelas antara sampo dan lemak babi yang biasa dipakai mandi di pedalaman Irian.

Setiap hari mandi kami ajari selama enam hari, lalu busa sabun dan sampo melekat di tubuh kepala suku. Dia biarkan busanya itu. Sambil busa melekat di badan, dia tetap pergi ke kebun untuk bekerja seperti biasanya. Hari keenam, Allah turunkan hujan pada sore hari. Tubuh kepala suku terbilas air hujan sehingga ia merasakan sensasi kesegaran dan aroma wangi. Karena busa yang mengering itu memunculkan rasa segar dan harum. Sore itu ia pulang dan tertidur pulas hingga bangun keesokan harinya.

Kesegaran tubuh itu membuat ia menjadi nyaman saat tidur. Esoknya ia berkata, “Anak, cara mandi yang anak ajarkan kemarin itu yang betul. Badan Bapak jadi enak dan belum pernah Bapak tidur enak seperti itu.” Bagi kepala suku besar, siapapun dianggap anak tanpa peduli pejabat ataupun tokoh manapun. Lantas Fadzlan mengajak mandi lagi. Hari itu mandi dan langsung bilas. Lagi-lagi kepala suku terasa segar dan tertidur pulas sekitar pukul 10.00 hingga 14.00.

Keesokannya harinya kepala suku mengundang seluruh warga yang tersebardi 28 kampung. Hadir saat itu 3.712 orang untuk mengikuti pelajaran mandi yang diajarkan Fadzlan bersama 19 dai lainnya. Ada pria, wanita, dan juga anak-anak pedalaman Irian. “Saya bagikan satu sabun yang diiris jadi empat agar cukup jumlahnya,” tuturnya.

Setelah mandi, Fazdlan shalat berjamaah bersama para dai lainnya di atas musola sederhana di atas panggung kecil di hadapan ribuan warga. Mereka mengamati gerakan shalat. Begitu selesai, kepala suku langsung bertanya, “Mengapa, Anak berdiri, angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara? Apa maaksudnya itu?” Fadzlan menjawab, “Agama kami Islam. Dalam sehari kami lima kali harus menghadap Tuhan. Kami menyerahkan punya jiwa dan badan kepada Tuhan.” Kepala suku menyahut lantang, “Ini baru agama yang benar.”

“Lalu mengana Anak dan teman-teman bongkok badan?” tanyanya lagi. “Di bawah kita ada tanah, pasir, hewan, dan tumbuhan yang harus dilindungi dan digunakan dengan baik.” Kepala suku menyahut lagi, “Ini baru agama yang benar.”

“Lalu mengapa Anak tunduk mencium papan?” tanyanya lagi. “Kami merendah di depan Tuhan. Kami banyak dosa, kami menangis. Nanti kita akan juga mati dan jadi tanah,” jawab Fadzlan. “Itu mengapa Anak menoleh dan mulutnya bicara?” kerjanya lagi. “Itu agar kami tahu siapa saudara-saudara yang belum bisa mandi dan belum punya baju. Mungkin ada sakit, ada yang belum makan atau juga belum kenal. Kita harus bantu. Mungkin ada yang belum Tuhan,” papar Fadlan.    

Seketika itu, kepala suku besar berpidato di hadapan semua orang. “Hari ini kami senang. Anak-anak sudah mengajar agama yang benar. Kami terima kasih.” Fadzlan terharu melihat ketulusan dan kesungguhan mereka. “Ribuan orang bersyahadat. Kami menangis saat itu,” tuturnya. “Langkah selanjutnya adalah memberi nama mereka. Ada Zainuddin, Abidin, Mashuda, dll. Lalu kami ajak dokter untuk mengkhitan para pria. Mulai usia 7 bulan hingga 63 tahun,” paparnya.

Itu terjadi pada 1985. Atas izin Allah, perkembangan dakwah di tanah Irian makin pesat sejak itu. Banyak anak-anak yang belajar di ponpes di Irian seperti di Fak-fak, Wamena, dan Jayapura. “Agar kebiasaan yang tidak baik bisa dikurangi, maka kami bangun ponpes di Bekasi ini. Jika masih di daerah Irian, program kami sulit berkembang. Dari Bekasi ini, mereka akan kuliah di berbagai kampus seperti di Jabodetabek, Jogja, Medan, dll. Setelah itu, mereka harus pulang untuk membangun dan berdakwah di kampung masing-masing. Sebelum pulang, mereka harus cek hafalan Al Quran minimal 15 juz di sini,” jelasnya.

Alhamdulillah, lanjut ia, sejak 1999 ponpes Nuu Waar telah melahirkan 2.500an pendakwah muda di Irian. “Ada yang jadi bupati, guru, tentara, camat, sekwilcam, bidan, perawat, dan lain-lain. Mereka tersebar di Fak-fak, Raja Ampat, Teluk Bintuni, Kaimana, Sorong Selatan, dan Boven Digul. Cita-cita kami adalah memberi kado kepada NKRI di ulang tahunnya yang ke-100 dengan sebuah generasi qurani yang siap membangun Indonesia dari tanah Irian,” pungkasnya.         




No comments: